acebook


.¤ª"˜¨¯¨¨Abbad Bin Bisyir oo Abbaad Ibn Bishr¸,ø¨¨"ª¤. 
Selalu disertai cahaya Allah. 

Ketika Mush’ab bin Umeir tiba di Madinah sebagai utusan dari Rasulullah saw. untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah bai’at kepada Nabi dan membimbing mereka melakukan shalat, maka ‘Abbad bin Bisyir r.a. adalah seorang budiman yang telah dibukakan Allah hatinya untuk menerima kebaikan. la datang menghadiri majlia Mush’ab dan mendengarkan da’wahnya, lalu diulurkan tangannya meng­angkat bai’at memeluk Islam. Dan semenjak saat itu mulailah ia menempati kedudukan utama di antara orang-orang Anshar yang diridlai oleh Allah Serta mereka ridla kepada Allah . . . .Kemudian Nabi pindah ke Madinah, setelah lebih dulu orang-orang Mu’min dari Mekah tiba di sana. Dan mulailah terjadi peperangan-peperangan dalam mempertahankan diri dari serangan-serangan kafir Quraisy dan sekutunya yang tak henti­hentinya memburu Nabi dan ummat Islam. 

Kekuatan pembawa cahaya dan kebaikan bertarung dengan kekuatan gelap dan kejahatan. Dan pada setiap peperangan itu ‘Abbad bin Bisyir berada di barisan terdepan, berjihad di jalan Allah dengan gagah berani dan mati-matian dengan cara yang amat mengagum­kan….Dan mungkin peristiwa yang kita paparkan di bawah ini dapat mengungkapkan sekelumit dari kepahlawanan tokoh Mu’min ini …. Setelah Rasulullah saw. dan Kaum Muslimin selesai meng­hadapi perang Dzatur Riga’, mereka sampai di suatu tempat dan bermalam di sana, Rasulullah memilih beberapa orang shahabatnya untuk mengawal secara bergiliran. Di antara mereka terpilih ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir yang berada pada satu kelompok.Karena dilihat oleh ‘Abbad bahwa kawannya ‘Ammar sedang lelah, diusulkannyalah agar ‘Ammar tidur lebih dulu dan ia akan mengawal. Dan nanti bila ia telah mendapatkan istirahat yang cukup, maka giliran ‘Ammar pula mengawal menggantikannya.‘Abbad melihat bahwa lingkungan sekelilingnya aman. Maka timbullah fikirannya, kenapa ia tidak mengisi waktunya dengan melakukan shalat, hingga pahala yang akan diperoleh akan jadi berlipat … ? 

Demikianlah ia bangkit melakukannya … .Tiba-tiba sementara ia berdiri sedang membaca sebuah surat al-Quran setelah al-Fatihah, sebuah anak panah menancap di pangkal lengannya. Maka dicabutnya anak panah itu dan diteruskannya shalatnya ….Tidak lama diantaranya mendesing pula anak panah kedua yang mengenai anggota badannya.Tetapi ia tak hendak menghentikan shalatnya hanya di­cabutnya anak panah itu seperti yang pertama tadi, dan di­lanjutkannya bacaan surat.

Kemudian dalam gelap malam itu musuh memanahnya lagi untuk ketiga kalinya. ‘Abbad menarik anak panah itu dan meng­akhiri bacaan surat. Setelah itu ia ruku’ dan sujud …. sementara tenaganya telah lemah diaebabkan sakit dan lelah. Lalu sementara sujud itu diulurkannya tangannya kepada kawannya yang sedang tidur di sampingnya dan ditarik-tariknya ia sampai terbangun. Dalam pada itu ia bangkit dari sujudnya dan membaca tasyahud, lalu menyelesaikan shalatnya.‘Ammar terbangun mendengar suara kawannya yang ter­putus-putus menahan sakit: “Gantikan daku mengawal karena aku telah kena… !” ‘Ammar menghambur dari tidurnya hingga menimbulkan kegaduhan dan takutnya musuh yang menyelinap. Mereka melarikan diri, sedang ‘Ammar berpaling kepada temannya seraya katanya: “Subhanallah . . . ! Kenapa saya tidak dibangunkan ketika kamu dipanah yang pertama kali tadi . . . !”Ujar ‘Abbad: — “Ketika daku shalat tadi, aku membaca beberapa ayat al-Quran yang amat mengharukan hatiku, hingga aku tak ingin untuk memutuskannya . . . !

 Dan demi Allah, kalau tidaklah akan menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasul kepada kita menjaganya, sungguh, aku lebih suka matii daripada memu­tuskan bacaan ayat-ayat yang sedang kubaca itu … !”‘Abbad amat cinta sekali kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya . .. . Kecintaan itu memenuhi segenap pe­rasaan dan seluruh kehidupannya. Dan semenjak Nabi saw. ber­pidato dan mengarahkan pembicaraannya kepada Kaum Anshar, ia termasuk salah seorang di antara mereka. Sabdanya:“Hai golongan Anshar … ! Kalian adalah inti, sedang golongan lain bagai kulit ari! Maka tak mungkin aku dicederai oleh pihak kalian …

Semenjak itu, yakni semenjak ‘Abbad mendengar ucapan ini dari Rasulnya, dari guru dan pembimbingnya kepada Allah, dan ia rela menyerahkan harta benda nyawa dan hidupnya di jalan Allah dan di jalan Rasul-Nya . . . , maka kita temui dia di arena pengurbanan dan di medan laga muncul sebagai orang pertama, sebaliknya di waktu pembagian keuntungan dan harta rampasan, sukar untuk ditemukannya … !Di samping itu ia adalah seorang ahli ibadah yang tekun… seorang pahlawan yang gigih dalam berjuang …. seorang der­mawan yang rela berqurban . . . , dan seorang Mu’min sejati yang telah membaktikan hidupnya untuk keimanannya ini … !Keutamaannya ini telah dikenal luas di antara shahabat­-shahabat Rasul. Dan Aisyah r.a. Ummul Mu’minin pernah mengatakan tentang dirinya: “Ada tiga orang Anshar yang keutamaannya tak dapat diatasi oleh seorang pun juga, yaitu: Sa’ad bin Mu’adz, Useid bin Hudlair dan ‘Abbad bin Bisyir …

Orang-orang Islam angkatan pertama mengetahui bahwa ‘Abbad adalah seorang tokoh yang memperoleh karunia berupa cahaya dari Allah . . . . Penglihatannya yang jelas dan memperoleh penerangan, dapat mengetahui tempat-tempat yang baik dan meyakinkan tanpa mencarinya dengan susah-payah. Bahkan kepercayaan shahabat-shahabat nya mengenai cahaya ini sampai ke suatu tingkat yang lebih tinggi, bahwa ia merupakan benda yang dapat terlihat. Mereka sama sekata bahwa bila ‘Abbad berjalan di waktu malam, terbitlah daripadanya berkas-berkas cahaya dan sinar yang menerangi baginya jalan yang akan di­tempuh ….Dalam peperangan menghadapi orang-orang murtad se­peninggal Rasulullah saw. maka ‘Abbad memikul tanggung jawab dengan keberanian yang tak ada taranya . . . . Apalagi dalam pertempuran Yamamah di mana Kaurn Muslimin menghadapi bala tentara yang paling kejam dan paling berpengalaman di bawah pimpinan Musailamatul Kaddzab, ‘Abbad melihat bahaya besar yang mengancam Islam.

 Maka jiwa pengurbanan dan kepahlawanannya mengambil bentuk sesuai dengan tugas yang dibebankan oleh keimanannya, dan meningkat ke taraf yang sejajar dengan kesadarannya akan bahaya tersebut, hingga men­jadikannya sebagai prajurit yang berani mati, yang tak meng­inginkan kecuali mati syahid di jalan Ilahi ….Sehari sebelum perang Yamamah itu dimulai, ‘Abbad meng­alami suatu mimpi yang tak lama antaranya diketahui Ta’birnya secara gamblangdan terjadi di arena pertempuran sengit yang diterjuni oleh Kaum Muslimin.Dan marilah kita panggil seorang shahabat mulia Abu Sa’id al-Khudri r.a. untuk menceritakan mimpi yang dilihat oleh ‘Abbad tersebut begitu pun Ta’birnya, serta peranannya yang mengagumkan dalam pertempuran yang berakhir dengan syahid­nya….

Demikian cerita Abu Sa’id:” ‘Abbad bin Bisyir mengatakan kepadaku: “Hai Abu Sa’id! Saya bermimpi semalam melihat langit terbuka untuk­ku, kemudian tertutup lagi … !Saya yakin bahwa ta’birnya insya Allah saya akan menemui syahidnya . . . !” “Demi Allah!” ujarku, “itu adalah mimpi yang baik … !”“Dan di waktu perang Yamamah itu saya lihat ia berseru kepada orang-orang Anshar: “Pecahkan sarung-sarung pe­dangmu dan tunjukkan kelebihan kalian … !”Maka segeralah menyerbu mengiringkannya sejumlah empat ratus orang dari golongan Anshar hingga sampailah mereka ke pintu gerbang taman bunga, lalu bertempur dengan gagah berani.Ketika itu ‘Abbad  semoga Allah memberinya rahmat —menemui syahidnya. Wajahnya saya lihat penuh dengan bekas sambaran pedang, dan saya mengenalnya hanyalah dengan melihat tanda yang terdapat pada tubuhnya … !”

Demikianlah ‘Abbad meningkat naik ke taraf yang sesuai untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang Mu’min dari golongan Anshar, yang telah mengangkat bai’at kepada Rasul untuk membaktikan hidupnya bagi Allah dan menemui syahid di jalan-Nya …Dan tatkala pada permulaannya dilihatnya neraca pertempur­an sengit itu lebih berat untuk kemenangan musuh, teringatlah olehnya ucapan Rasulullah terhadap Kaumnya golongan Anshar:  ”Kalian adalah inti . . . ! Maka tak mungkin saya dicederai oleh pihak kalian!”Ucapan itu memenuhi rongga dada dan hatinya, hingga seolah-olah sekarang ini Rasulullah masih berdiri, mengulang­-ulang kata-katanya itu . . . ‘Abbad merasa bahwa seluruh tang­gung jawab peperangan itu terpikul hanya di atas bahu golongan Anshar semata . .. atau di atas bahu mereka sebelum golongan lainnya .. . ! 

Maka ketika itu naiklah ia ke atas sebuah bukit lalu berseru: ”Hai golongan Anshar . . . ! Pecahkan sarung­-sarung pedangmu, dan tunjukkan keistimewaanmu dari golongan lain… !”Dan ketika seruannya dipenuhi oleh empat ratus orang pejuang, ‘Abbad bersama Abu Dajanah dan Barra’ bin Malik mengerahkan mereka ke taman maut, suatu taman yang diguna­kan oleh Musailamah sebagai benteng pertahanan …dan pah­lawan besar itu pun berjuanglah sebagai layaknya seorang laki­laki, sebagai seorang Mu’min dan sebagai seorang warga Anshar ….Dan pada hari yang mulia itu, pergilah ‘Abbad menemui syahidnya          Tidak salah mimpi yang dilihat dalam tidurnya semalam Bukankah ia melihat langit terbuka, kemudian setelah ia masuk ke celahnya yang terbuka itu, tiba-tiba langit bertaut dan tertutup kembali . . . ! 

Dan mimpi itu dita’wilkannya bahwa pada pertempuran yang akan terjadi ruhnya akan naik ke haribaan Tuhan dan Penciptanya … !Sungguh, benarlah mimpi itu dan benarlah pula ta’birnya. ! 

Pintu-pintu langit telah terbuka untuk menyambut ruh ‘Abbad bin Bisyir dengan gembira, yakni seorang tokoh yang oleh Allah diberi cahaya



ABBAAD IBN BISHR  
With Him Was the Light of Allah! 

When Mus`ab Ibn `Umair went to Al-Madiinah, appointed by the Messenger of Allah (PBUH) to teach the Ansaar -  who had given their oath of allegiance to the Messenger in Islam - and to lead them in prayer, `Abbaad lbn Bishr was one of the devoted whose hearts Allah opened to good. So Mus`ab approached the assembly, and `Abbaad listened to him and stretched out his right hand to give his oath of allegiance to Islam. From that day on, he took his place among the Ansaar with whom Allah is pleased and they with Him. The Prophet (PBUH) emigrated to Al-Madiinah after the believers of Makkah had preceded him there. Then began the military campaigns in which the forces of good and light clashed with the forces of darkness and evil.

 In each of these battles, `Abbaad lbn Bishr was in the front ranks fighting heroically in the cause of Allah, completely consumed and dedicated with heart and soul in a dazzling, overwhelming way. Perhaps the event which we now narrate will disclose something of the heroism of this great believer. After the Messenger of Allah and the believers had finished the military campaign of Dhaat-Ar-Riqaa', they stopped over at a place to spend the night and the Messenger chose guards from the Companions to take turns. Among them were `Ammaar lbn Yaasir and `Abbaad lbn Bishr on one watch.  

        `Abbaad saw that his companion `Ammaar was exhausted, so he demanded that he sleep the first part of the night and he would stand guard so his companion could take some rest. He could resume guard after he awoke.  
     
   `Abbaad saw that the place around him was safe, so he thought, why not fill up his time with prayer, so that he would be rewarded both for praying and standing guard. So he stood praying. While he was standing reciting a surah from the Qur'aan after Al-Faatihah, an arrow passed through his shoulder, so he pulled it out and continued his prayer. Then the attacker shot a second arrow in the darkness of the night, so he pulled it out, also, and completed his recitation. Then he bowed and prostrated. Weakness and pain had dissipated his strength, so he extended his right hand, while prostrating, to his companion sleeping near him and continued to shake him until he woke up. Then he sat up from his prostration and recited the Tashahhud (i.e. the last part of his prayer) and completed his prayer.  
    
   `Arnmaar awoke at the weary, trembling voice of his words, "Stand guard in my place. I am wounded!" `Ammaar jumped up yelling noisily and quickly frightened away the attackers, so they ran away. Then he turned to `Abbaad and said to him, "Glory be to Allah! Why didn't you awaken me when you were first hit?"  
    
    `Abbaad replied, "In my prayer I was reciting verses from the Qur'aan that filled my soul with such awe that I didn't want to interrupt it nor cut it short. By Allah, I swear, because I did not want to lose a single word which the Messenger of Allah ordered me to preserve, I would have preferred death more than interrupting those verses which I was reciting." 

  `Abbaad was extremely devoted and strong in his love of Allah, His Messenger, and His religion, and this devotion lasted throughout his life.  
  
      Since he heard the Prophet (PBUH) saying to the Ansaar, "You are my people. You are the people who protect. There is no nation which has come like you before." ... We say, since Abbaad heard these words from his Prophet (PBUH), teacher, and guide to Allah, he spent generously of his wealth and gave his spirit and life in the way of Allah and His Messenger. In the areas of sacrifice and even death, he constantly put them first, and even in a seizure of booty and spoils of war. In places of hardship and struggle, his companions searched for him until they found him.  
  
     He was always a worshiper - worship completely absorbed him; brave - bravery and heroism engrossed him; generous generosity engaged him.  

        He was a strong believer. He pledged his life to the cause of faith.

All of this was known of him by the Companions of the Messenger. The Mother of the Faithful `Aa'ishah (May Allah be pleased with her) said: "There are three from among the Ansaar who are not surpassed in virtue by anyone: S'ad Ibn Mu'aadh, Usaid lbn Hudair and `Abbaad Ibn Bishr."  

        The first Muslims knew `Abbaad as a man in whom was light from Allah. His radiant, clear vision guided to areas of goodness and certainty without searching or difficulty.  
  
      His brothers believed in his light to the extent that they attributed to him the picture of perception and discipline. They agreed that once `Abbaad was walking in the darkness and there emanated from him a light that lit the way for him.  
     
  In the apostasy wars after the death of the Messenger (PBUH), `Abbaad carried his responsibility with incomparable death-defying courage.  

        On the battlefield of Al-Yamaamah, where the Muslims faced the most cruel and skillful army under the leadership of Musailamah, the Liar, `Abbaad perceived a danger threatening to Islam. His willingness to sacrifice and his vigor constituted sufficient importance, such that it gave him his faith and raised him to the level of his aspiration and ability to perceive danger, making him one willing to sacrifice and give up everything for his faith, not desiring anything other than death and martyrdom.  

        A day before the beginning of the Battle of Al-Yamaamah he saw in his sleep a vision that did not remain long enough to be clear:  above the land of the great destructive battle which the Muslims went through...  

       So let an honorable companion, Abu Sa'iid Al-Khudriy, tell us the story of the vision which `Abbaad saw, his explanation of it, and his amazing attitude in fighting which ended in martyrdom.  

        Abu Sa'iid reported: `Abbaad Ibn Bishr said to me, "O Abu Sa'iid, I saw last night as if the sky had opened up for me. Then it closed and covered over me. Indeed, I see it, if Allah wills, to mean martyrdom." I said to him, Good. I swear by Allah, you did indeed see it." On the Day of Al-Yamaamah, I looked at him and indeed saw him shouting to the Ansaar, "Use your swords forcefully and be distinguished among the people!" So 400 men came quickly to him, all of them from among the Ansaar people, until they stopped at the gate of the garden. They fought violently, and Abbaad Ibn Bishr was martyred. I saw on his face much beating and I did not know him except by a mark that was on his body.  

Thus was `Abbaad raised to the level of his duties as a believer from among the Ansaar. He gave the oath of allegiance to his Messenger, dedicating his life to Allah and death in His cause. When he saw the destructive battle turning in favor of the enemy, he remembered the words of the Messenger to his people, the Ansaar: "You are my people. I can not be defeated through you. There has not come and people like you before." This sound filled his heart and soul and penetrated his consciousness, until it was as if the Messenger of Allah was now standing before him repeating these words of his.  

       `Abbaad felt that the whole responsibility of the battle was placed completely on the shoulders of the Ansaar, on the shoulders of those about whom the Messenger of Allah had said, "There has not come any people like you before." And on the shoulders of no one else besides them.  

        Then and there, `Abbaad went up on a hill and shouted, "O people of the Ansaar! Carry your sword in a valiant way, and be honored and distinguished among the people!"  

       When 400 of them answered his call, he led them and Abu Dajaanah and Al-Baraa' Ibn Maalik to the garden of death, where the army of Musailamah had fortified itself for protection. The hero fought a worthy fight as a man, as a believer, and as an Ansaar.  
    
    On that glorious day, `Abbaad attained martyrdom. The vision which he saw in his dream the day before came true. Did he not see the sky open until, when he entered it from that opening, it returned and folded on him and closed?  
     
   He interpreted it as meaning that his spirit would ascend in the coming battle to its Creator. The vision was true and the interpretation of it was true. And the doors of heaven were opened to welcome to happiness the spirit of `Abbaad Ibn Bishr, the man who had with him a light from Allah.   


.¤ª"˜¨¯¨¨Abbad Bin Bisyir oo Abbaad Ibn Bishr¸,ø¨¨"ª¤. 



.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Abbas oo 'Abd Allah Ibn Abbaas¸,ø¨¨"ª¤. 
Kyai ummat ini. 


Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih kecil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. 

Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah saw. yang mengutamakan dan mendidiknyaserta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ….la adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari “habar” atau kyai atau lengkap­nya “kyai ummat”, suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahu­annya yang luas.

Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendoakannya:“Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajar­kanlah kepadanya ta’wil”. Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan di mana Rasulullah mengulang-ulang du’a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu . . . , dan ketika itu ia mengertilah bahwa. ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah saw. wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang di­ucapkannya . . . .

Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul Ala, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang luput didengar dan dipelajari­nya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin me­ngetahui dan ingin sertanya) terpatri dalam dirinya.Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya. Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengum­pulkan ilmu pengetahuan semata, tapi juga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.

Pernah ia menceritakan pengalamannya:  ”Pernah aku sertanya kepada tiga puluh orang shahabat Rasul saw. mengenai satu masalah”. Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut:“Tatkala Rasulullah saw. wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: “Marilah kita sertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul.?”Jawab pemuda Anshar itu:“Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kau lihat banyak terdapat shahabat Rasul­ullah . . . !’ Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi sertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur Siang. Ku­bentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, Sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar menemuiku. 

Maka katanya: “Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepada­mu?” “Tidak!” ujarku, “bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya … !”

Demikianlah pemuda kita yang agung ini sertanya, kemudian sertanya dan sertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang­orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab r.a. menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya “pemuda tua” . . . !

Pada suatu hari ditanyakan orang, kepada Ibnu Abbas: “Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini … ?’Jawabnya:“Dengan lidah yang gemar sertanya, dari akal yang suka berfikir … ! “Maka dengan lidahnya yang selalu sertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai “kyai ummat ini”.Sa’ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat­kalimat seperti ini :‑“Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas … ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!”Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin ‘Utbah berkata:“Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah saw. daripada Ibnu Abbas … ! 

Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripada­nya . . . ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengerti­annya daripadanya . . . .Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ….Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir al-Quran, ilmu hisab dan soal pembagian pusaka daripadanya . .. ! Dan tidak seorang muslim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang sertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya … !”

seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: — (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali) telah mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara …
1. Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.
2. Memperhatikan setiap ucapan pembicara.
3. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
1. Menjauhi sifat mengambil muka.
2. Menjauhi orang-orang yang rendah budi.
3. Menjauhi setiap perbuatan dosa.

Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu. Maka ia pun menjadi pedoman bagi orang-orang yang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa. 

Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman …. Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawan­nya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakan­nya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manis­nya susunan kata dan keahliannya berbicara … !Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu . .. ! 

Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu alat yang paling ampuh untuk mendapat­kan dan mengetahui kebenaran . . . !Dan memang, telah lama ia ditakuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:Tanya Ibnu Abbas:  ”Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali … ?”

Ujar mereka: “Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya:  Pertama dalam Agama Allah ia sertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: “Tak ada hukum kecuali bagi Allah . . . !) kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haram­lah darahnya . .  !’)Dan ketiga, waktu sertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu’min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir . . . !”Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya:  ”Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia sertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya … ?

Bukankah Allah telah berfirman:

“Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihrarn! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk tnenetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya . . . !” (Q.S. 5 al-Maidah: 95)

Nah, atas nama Allah cobalah jawab: “Manakah yang lebih penting, sertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah sertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham … ?”Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. 

Kemudian “kyai ummat ini” melanjutkan bantahannya:“Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah dan Ummul Mu’minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan . . . ?’Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lalu menutupi muka mereka dengan tangan …. sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya:“Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penulis: “Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah . . . “. Tiba-tiba utusan Quraisy menyela: “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu … ! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah . . . !” Kata Rasulullah kepada mereka: “Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya … !” Lalu kepada penulis, surat perjanjian itu diperintahkannya: “Tulislah apa yang mereka kehendaki! 

Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah … !

Demikianlah, dengan cara yang menarik dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari me­musuhi Imam Ali … !Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu Serta akhlaq para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, la bagaikan Imam dengan panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah­ruahkan ilmunya kepada mereka. . . .Orang-orang yang bersama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut:  ”‘Iidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas … !” Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga. Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapan­nya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan … !

Katanya mengenai dirinya:“Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitahullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu . . . ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu pekara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendoakannya . . . ,padahal tak ada hubungan perkara antara aku dengannya . . . ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut . . . !”la seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin sertaubat . . . , Sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu Siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, baik di kala ia shalat maupun sewaktu membaca al-Quran …. 

Dan ketika ia membaca ayat-ayat al-Quran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya sertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi … !Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat . . . ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah,  ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukkan tingginya keeerdasan dan banyak­nya akal Serta siasatnya . . . . la lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunakan fikiran daripada paksaan . . . !

Tatkala Husein r.a. bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk meng­halanginya. 

Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, berlunak lembut dan me­lenyapkan kesalah-pahaman ….Benar ia ikut terjun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu’awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat … !

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya . . . . Dan pada usianya yang ketujuh ­puluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maka Agung . . . . Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu’min diiringkan menuju surganya.Dan tatkala tubuh kasarnya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:

“Wahai jiwa yang aman tenteram! 
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. 
Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku.
Dan masuklah ke dalatn surga-Ku . . . !”


(54)  
`ABD ALLAH IBN `ABBAAS  
The Scholar of This Nation! 

        Ibn `Abbaas was similar to Ibn Az-Zubair in that both experienced the Prophetic era while still children. The Prophet (PBUH) died before Ibn `Abbaas had reached manhood. He had also been granted, while still very young, all the basic materials of manliness and the principles of life by the Prophet (PBUH), who liked him most, praised him, and taught him pure wisdom.  

        Due to his firm belief, gentleness, good character, and the richness of his knowledge, he was able to occupy a very high rank among the men around the Prophet (PBUH).  
  
     He was the son of Al-'Abbaas Ibn `Abd Al-Muttalib Ibn Haashim, the Prophet's uncle. His epithet was "The Nation's Scholar". He deserved the title and position due to his vast knowledge, the enlightenment of his mind, and his versatility.  
  
      Ibn `Abbaas came to knowledge at a very early age, a knowledge which increased as days went by. That is because the Prophet (PBUH) was always drawing `Abd Allah close to him, patting his shoulders and asking Allah, "O Allah, bless him with the full knowledge of the religion and interpretation of the Holy Qur'aan." The Prophet (PBUH) repeated the same prayer for his cousin `Abd Allah in various situations. In this way `Abd Allah Ibn `Abbaas realized that he had been created to acquire knowledge, and his intellectual capabilities inclined strongly in that direction. Although his age did not exceed 13 when the Prophet (PBUH) died, he had not spent his childhood in vain. He had attended the Prophet's assemblies and learned his words by heart.  

        When the Prophet (PBUH) died, he was eager to learn from the Companions what he had failed to hear or learn from the Prophet (PBUH) himself.  

        He turned into a continuous question mark. Whenever he heard that someone had acquired wisdom or learned a hadiith by heart, he hurried to learn it from him. His bright ambitious mind forced him to examine all that came to his ears.  

       He was not just concerned with gathering information, but with examining it and its sources. He once said about himself, "If I wanted to know something about an issue I would ask 30 Companions."  
   
     He drew a picture demonstrating his concern to reach truth and knowledge: When the Prophet (PBUH) died, I said to one of the Ansaar youth, "Let's go to the Prophet's Companions to ask them, as they are still numerous." He said, "O Ibn `Abbaas, how strange you really are! Do you think that people are in need of you while the great Companions are still among them?" The young man dropped the matter, whereas I turned to ask the Prophet's Companions. Whenever I was informed that someone had related a hadiith, would go to him in the afternoon while he was napping. I put my gown as a pillow under my head in front of his door. The wind scattered the dust over me. When he finished his nap and came out and saw me, he said, "O Prophet's cousin, what is it that brought you here? Why didn't you send for me ?" Then I would say, "No, it's you who deserves to be visited." Then I would ask him about the hadiith and learn from him.  

        In this way our young man went on asking and asking and asking, then examining the answers and discussing them with a curious mind.  
   
     Every day his wisdom and knowledge developed until he achieved, while still a youth, the wisdom, patience, and eloquency of the elderly, so much so that the Commander of the Faithful `Umar (May Allah be pleased with him) was eager to consult with him in every great issue. He called him, "The young leader of the elderly". Ibn `Abbaas was once asked, "How could you acquire all that knowledge?" He answered, "By means of a questioning tongue and a reasoning mind." Through his continuously inquiring tongue, his ever- detecting mind, and, moreover, his humility and gentleness, Ibn `Abbaas was to become the nation's scholar.  

        Sa'd Ibn Abi Waqqaas described him in the following words: I've never seen one with such presence of mind nor more intellectual and milder than Ibn `Abbaas. I've seen `Umar (May Allah be pleased with him), although surrounded by those who attended Badr, inviting him to discuss difficult problems. Whenever lbn `Abbaas spoke out his view point, 'Umar always stuck to it.  
   
     `Ubaid Allah Ibn `Utbah once said: I've never seen anyone more knowledgeable in the Prophet's hadiith than Ibn `Abbaas. Neither did I see anyone more knowledgeable during Abu Bakr, `Umar or `Uthmaan's caliphates than him; or more accurate in what he says in terms of jurisprudence or more knowledgeable in terms of poems, the Arabic language, Qur'aanic interpretation or religious matters. He divided his time, each day teaching one subject or another, jurisprudence, Qur'aanic interpretation, invasions, poems, and history, each one a different day. I've never seen a scholar listening to him without submitting himself completely to him, nor asking without being impressed by his vast and rich knowledge.  
  
      Ibn `Abbaas, who was appointed governor of Basra during the caliphate of `Aliy Ibn Abi Taalib (may Allah be pleased with him) was once described by a Muslim in the following words: He stuck to three matters, and gave up three. He dazzled men's hearts whenever he talked. He was a good listener whenever he was spoken to. He chose the easiest of two matters whenever he was opposed. He gave up hypocrisy. He gave up the companionship of wicked people. He gave up all that is excusable.  
  
      His diverse culture and vast, comprehensive knowledge were admirable. He was the skillful, shrewd authority in every field of knowledge: Qur'aanic interpretation, jurisprudence, history, Arabic language and literature. Therefore, he was a recourse for the seeker after truth. People traveled to him in groups from all parts of the Islamic world in order to listen to him and to learn from him.  
  
     A Companion who was contemporary with him narrated: I've seen one of Ibn `Abbaas's scholastic assemblies. If the whole tribe of the Quraish would have been proud, it would have been enough for their pride. I've seen people gathering in front of his door until the whole path had become so crowded that no one could enter or exit.  
      
  I entered, informing him that a great number of people were sitting in front of his door. He asked me to prepare his water for ablution, which he performed, then sat down and said, "Go out to them and invite those interested in Qur'aanic interpretation."  
  
      I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being answered in a satisfactory manner. Then he said to them, " Don't forget your brethren." They went out to allow others to enter. Then he said, "Go out and invite those interested in jurisprudence."  
     
   I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being satisfactorily answered. Then he said, "Don't forget your brethren." They went out to allow others to enter. Then he said, "Go out and invite those interested in religious duties."  
    
    I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being satisfactorily answered. Then he said, "Don't forget your brethren." They went out to allow others to enter.  
   
     Then he said, "Go out and invite those interested in the Arabic language and literature." I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being satisfactorily answered.   Ibn Abbaas had not only a sharp memory but an extraordinary one, and extreme brilliance and intelligence. His arguments were as dear, bright, and cheerful as sunlight. He would not let his opponent leave until he was not only convinced but, in addition, completely satisfied and pleased with the magnificence of his logic and brilliance of his speech.  
     
   In spite of his rich knowledge and effective argument, he never considered his discussion and conversation a battle of intellects in which he could be proud of his vast knowledge and victory over his opponents. On the contrary he considered it a straightforward path to visualize and realize truth.  
   
     For a long time his fair and sharp logic had been a source of alarm to the Khawaarij. Once Imam `Aliy (May Allah be pleased with him) sent him to a large group of the Khawaarij. They had a wonderful discussion, in which he was in control of the talk, arguing in a very admirable way. The following is an extract of that long conversation:  Ibn `Abbaas asked them, `What do you have against `Aliy?"  

        They said, "We are discontent with three matters. 

First, he let men judge in Allah's religion, whereas Allah said, ". . surely judging is only for GOD" (6:57).  

       Second, he is a murderer. However, he didn't take any captives or war booty. If they had been disbelievers, then their wealth would have been permissible, and if they had been Muslims, then their murder would have been prohibited.  
    
    Third, during the arbitration, he agreed to give up the title `Commander of the Faithful' in response to his enemies. If he isn't Commander of the Faithful, then he must be Commander of the Disbelievers."  

       Ibn Abbaas began to refute their claims. "As for letting men judge in Allah's religion, what's wrong with that? Allah said, " O you who believe! Do not kill animals of the hunt while you are on the Pilgrimage, and whoever of you kills it intentionally, he shall make recompense the equal of what he has killed from the cattle, which shall be judged by two just men among you" (5: 95). Tell me, by Allah, is letting men judge in sparing the Muslim blood not worthier than letting them judge in the case of compensating a killed rabbit that is worth a quarter of a dirham?"  
    
    Their leaders stammered in speech under the pressure of that sarcastic but decisive logic. Then he continued his talk. "As for your claim that he is a murderer who didn't take prisoners or war booty, did you expect him to take Aa'ishah, the Prophet's wife and Mother of the Faithful, a prisoner and her belongings as booty?" At that moment their faces went blank out of shame and they tried to cover them with their hands.  
    
    Ibn `Abbaas went on to the third claim. "As for your claim that he agreed to give up the title `Commander of the Faithful' to give arbitration a chance, let me tell you what the Prophet (PBUH) did on the Day of Hudaibiyah. While he was dictating the agreement between him and the Quraish, he said to the scribe, `Write, This is what the Messenger of Allah agreed upon.' The representative of the Quraish said, `By Allah, if we believed that you were the Messenger of Allah, we wouldn't have hindered you from entering the Sacred House or fought against you.' The Prophet (PBUH) then said, `Then write, This is what Muhammad Ibn `Abd Allah has agreed upon. By Allah, I'm the Messenger of Allah even if you deny that. Write whatever you like."' 

        The discussion between lbn `Abbaas and the khawaarij went on in such a miraculous, magnificent way.

The discussion had hardly ended when some 20,000 of the Khawaarij announced their conviction in what was said and announced the end of their oppositon to Aliy's imamate.  

        lbn `Abbaas not only possessed a great fortune of knowledge but also a greater fortune of manners of knowledge and the knowledgeable. He was a great figure in his generosity. He spent his wealth abundantly for the people's sake with the same willingness with which he shared his knowledge. His contemporaries said, We've never seen a house more filled with food, drinks, fruits, and knowledge than Ibn `Abbaas's house."  

        He possessed a pure soul that never carried any spite. He never tired of wishing all the good for people, those whom he knew and those whom he did not. He said about himself, "Whenever I recited a verse, I wished that all people had acquired the knowledge I've acquired. Whenever I heard about a just ruler ruling fairly, I was filled with delight and prayed for him, although I did not need him! Whenever I heard about rain falling on Muslim land, I was filled with delight although I did not own any livestock grazing on that land."  

       He was a devoted repenting worshiper, praying at night and often fasting. No one could miss the stream of tears on his cheek. That is because he cried so much whenever he prayed or recited the Qur'aan. Whenever he read a scolding or threatening verse, or the mention of death and resurrection, his wail and laments grew louder and louder.  

        In addition, he was honest, brave, and eloquent. He had his own viewpoint and opinions about the dispute between lmam `Aliy and Mu`aawiyah, which proved his capacity for stratagem.  

       He preferred peace to war, kindness to violence, logic to compulsion.  

       When Al-Hussain (May Allah be pleased with him) intended to go to Iraq to fight Ziyaad and Yaziid, Ibn `Abbaas did everything he could to prevent him. Afterwards, he was informed about his martyrdom. He felt deep grief and kept indoors.  

       Whenever a dispute between two Muslims arose, he could always be seen carrying the banner of peace, forgiveness, and tenderness.  

       It is true that he himself was involved in the battle between `Aliy and Mu'aawiyah when he fought on `Aliy's side. But he did that because, at the beginning, the war represented a necessary eradication of a movement which was causing a terrible split within the Islamic community, threatening the unity of the faith and of the believers.  

        As long as he lived he filled the whole world with knowledge and wisdom, spreading among people his scent of piety.  

        When he reached the age of 71, he was invited to meet Allah. The city of At-Taa'if witnessed a great scene for a believer who had been promised Paradise. While his body settled safely in its grave, the horizon was shaken by the echo of the truthful divine promise: 
"O soul at peace. Return to your Lord, well pleased and well pleasing. Enter you among My servants. And enter into My Paradise!" (89:27-30).  
 
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Abbas oo 'Abd Allah Ibn Abbaas¸,ø¨¨"ª¤. 


  




.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Zubier oo 'Abd Allah Ibn Az-Zubair ¸,ø¨¨"ª¤. 
Seorang tokoh dan syahid yang luar biasa.


Ketika menempuh padang pasir yang panas bagai menyala dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah yang terkenal itu, ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya. Demikianlah telah menjadi taqdir bagi Abdullah bin Zubeir melakukan hijrah bersama Kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, masih tersimpan dalam perut ibunya ….Ibunya Asma,  semoga Allah ridla kepadanya dan ia jadi ridla kepada Allah setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, datanglah saat melahirkan, dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuklah ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya muhajirin lainnya dari shahabat- shahabat Rasulullah . . . !

Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu, dibawa kepada Rasulullah saw. di rumahnya di Madinah, maka dicium­nya kedua pipinya dan dikecupnya mulutnya, hingga yang  pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Zubeir itu ialah air selera Rasulullah yang mulia.Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir. Latar belakangnya ialah karena tatkala Rasulullah dan para shahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang­orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap Kaum Muslimin. Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir Kaum Muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka . . . !Maka tatkala Abdullah bin Zubeir muncul dari alam gaib, hal itu merupakan suatu kenyataan yang digunakan taqdir untuk menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu muslihat mereka … !

Di masa hidup Rasulullah, Abdullah belum mencapai usia dewasa. Tetapi lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah, telah membentuk kerangka kepahlawanan dan prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini menjadi buah bibir orang dan tercatat dalam sejarah dunia. Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjuk­kan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda, seorang yang suci, tekun beribadat, hidup sederhana dan perwira tidak terkira ….Demikianlah hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabi’atnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. la benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa ….

Sewaktu pembebasan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel, ia yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampil sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terlukia sepanjang masa . . .Dalam pertempuran di Afrika sendiri, Kaum Muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu oang tentara, pernah meng­hadapi musuh yang berkekuatan sebanyak seratus duapuluh ribu orang. Pertempuran berkecamuk, dan pihak Ialam terancam bahaya besar! Abdullah bin Zubeir melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri. 

Tak putus putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkit­kan semangat mereka dengan cara iatimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut ….Abdullah maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatuhnya panglima yang menakutkan ini. Tetapi bagaimana caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh . . .  !Tetapi semangat dan keberanian Ibnu Zubeir tak perlu diragukan lagi untuk selama-lamanya … ! Dipanggilnya sebagian kawan-kawannya, lalu katanya:  ”Lindungi punggungku dan mari menyerbu bersamaku . . . !”Dan tak ubah bagai anak panah lepas dari busurnya, dibelahnya bariaan yang berlapia itu menuju raja musuh, dan demi sampai di hadapannya, dipukulnya sekali pukul, hingga raja itu jatuh tersungkur. Kemudian secepatnya bersama kawan-kawannya ia mengepung tentara yang berada di sekeliling raja dan menghancurkan mereka …. lalu dikuman­dangkannya Allahu Akbar . . . !

Demi Kaum Muslimin melihat bendera mereka berkibar di sana, yakni di tempat panglima Barbar berdiri menyampaikan perintah dan mengatur siasat, tahulah mereka bahwa kemenangan telah tercapai. Maka seolah-olah satu orang jua, mereka me­nyerbu ke muka, dan segala sesuatu pun berakhir dengan keuntungan di pihak Muslimin … !

Abdullah bin Abi Sarah, panglima tentara Ialam, mengetahui peranan penting yang telah dilakukan oleh Ibnu Zubeir. Maka sebagai imbalannya disuruhnya ia menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah terutama kepada khalifah Utsman bin Affan ….Hanya kepahlawanannya dalam medan perang bagaimana juga unggul dan luar biasanya, tetapi itu tersembunyi di balik ketekunannya dalam beribadah . . .. Maka orang yang mempunyai tidak hanya satu dua alasan untuk berbangga dan menyombongkan dirinya ini akan menakjubkan kita karena selalu ditemukan dalam lingkungan orang-orang shaleh dan rajin beribadat.

Maka baik derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi seorang laki-laki ‘abid yang berpuasa di siang hari,bangun malam beribadat kepada Allah dengan hati yang khusuk niat yang suci.Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah:  ”Cobalah ceritakan kepada kami kepri­badian Abdullah bin Zubeir!” Maka ujarnya:  ”Demi Allah! Tak pernah kulihat jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya!

 Ia tekun melakukan shalat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya . . . . Ia ruku’ dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangka­nya dinding tembok atau kain yang tergantung. Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia shalat, tetapi demi Allah, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu rukuk nya . . . !”

Memang, berita-berita sebenarnya yang diceritakan orang tentang ibadat Ibnu Zubeir, hampir merupakan dongeng. Maka di dalam shaum dan shalat, dalam menunaikan haji dan serta zakat, ketinggian cita serta kemuliaan diri . . . , dalam berteng­gang di waktu malam  sepanjang hidupnya  untuk bersujud dan beribadat …. dalam menahan lapar di waktu siang,  juga sepanjang usianya untuk shaum dan jihadun nafs . . . , dan dalam keimanannya yang teguh kepada Allah … dalam semua itu ia adalah tokoh satu-satunya tak ada duanya . . . !

Pada suatu kali, Ibnu Abbas ditanyai orang mengenai Ibnu Zubeir. Maka walaupun di antara kedua orang ini terdapat per­seliaihan paham, Ibnu Abbas berkata:  ”Ia adalah seorang pembaca Kitabullah, dan pengikut sunnah Rasul-Nya, tekun beribadat kepada-Nya dan shaum di siang hari karena takut kepada-Nya . . . . Seorang putera dari pembela Rasulullah, dan ibunya ialah Asma puteri Shiddiq,sementara bibinya ialah Khadijah iatri dari Rasulullah . . . . Maka tak ada seorang pun yang tak mengakui keutamaannya, kecuali orang yang dibutakan matanya oleh Allah … !”Dalam keteguhan dan kekuatan wataknya, Abdullah bin Zubeir seolah-olah menandingi gunung layaknya . . . ! 

Terbuka jelas . . . . mulia . . . , tangguh .. , dan siap sedia selalu untukmengurbankan nyawanya sebagai tebusan keterusterangan dan lurusnya jalan yang akan ditempuhnya ….Sewaktu perseliaihan dan peperangannya dengan Mu’awiyah, ia dikunjungi oleh Hushain bin Numeir, yakni panglima tentara yang dikirim oleh Yazid untuk memadamkan pemberontakan Ibnu Zubeir.Hushain berkunjung kepadanya tidak lama setelah sampainya berita ke Mekah tentang Kematian Yazid. Ia menawarkan kepada Ibnu Zubeir untuk ikut pergi bersamanya ke Syria, dan ia akan menggunakan pengaruhnya yang besar di sana agar bai’at dapat diberikan kepadanya … !

Abdullah menolak kesempatan emas ini karena menurut keyakinannya terhadap Syria harus dijalankan hukum qiahash sebagai balasan atas dosa-dosanya dan kekejaman mereka ter­hadap kota Madinah, kota Rasulullah saw. demi memenuhi kehendak orang-orang Bani Umaiyah ….Sungguh, kita berbeda pendapat dengan Abdullah mengenai pendiriannya ini, dan kita berharap kiranya ia lebih mementing­kan perdamaian dan ketenteraman, serta menggunakan kesempatan langka yang ditawarkan Hushain, panglima Yazid ini… !Tetapi pendirian seorang laki-laki, laki-laki mana juga yang berdasarkan keyakinan dan kepercayaannya, dan penolak­annya untuk bersifat bohong dan munafiq, merupakan suatu hal yang patut mendapat penghargaan dan kekaguman … !

Dan tatkala ia diaerang oleh Hajjaj dengan bala tentaranya yang diiringi kepungan ketat terhadap dirinya dan anak buahnya, maka di antara anak buahnya itu terdapat segolongan besar orang-orang Habsyi yang selalu hidup di medan perang dan para pemanah yang mahir.Ibnu Zubeir mendengar mereka sedang membicarakan khalifah yang telah pergi berlalu bernama Utsman bin Affan r.a., tanpa mengindahkan tata-tertib kesopan­an dan tidak didasari oleh kesadaran, mereka dicelanya, katanya: “Demi Allah, aku tak sudi meminta bantuan dalam menghadapi musuhku kepada orang-orang yang membenci Utsman  !” 

Pada saat itu ia sangat memerlukan bantuan, tak ubah bagai seorang yang tenggelam membutuhkan pertolongan, tetap uluran tangan orang tersebut ditolaknya … !Keterbukaannya terhadap diri pribadi serta kesetiaannya terhadap aqidah dan prinsipnya, menyebabkannya tidak peduli kehilangan duaratus orang pemanah termahir yang Agama mereka tidak dipercayai dan berkenan di hatinya! 

Padahal waktu itu ia sedang berada dalam peperangan yang akan menentukan hidup matinya, dan kemungkinan besar akan berubah arah, seandainya pemanah-pemanah ahli itu tetap berada di sam­pingnyaKemudian pembangkangannya terhadap Mu’awiyah dan puteranya Yazid sungguh-sungguh merupakan kepahlawanan! Menurut pandangannya, Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat . . . ! 

Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga,Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka bagaimana Ibnu Zubeir akan mau bai’at kepadanya … ?Kata-kata penolakannya terhadap Mu’awiyah selagi ia masih hidup amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubeir mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak mau bai’at pada Yazid … ? 

Ketika itu Ibnu Zubeir memberikan jawabannya:“Kapan pun, aku tidak akan bai’at kepada si pemabok … kemudian katanya berpantun : ”Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham, dapat mengunyah batu menjadi lembut “.Ibnu Zubeir tetap menjadi Amirul Mu’minin dengan meng­ambil. Mekah al-Mukarramah sebagai ibu kota pemerintahan dan membentangkan kekuasaannya terhadap Hejaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan dan seluruh Syria kecuali Damsyik, setelah ia mendapat bai’at dari seluruh warga kota-kota daerah tersebut di atas.Tetapi orang-orang Banu Umaiyah tidak senang diam dan berhati puas sebelum menjatuhkannya, maka mereka melancar­kan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan.

Hingga akhirnya datanglah masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan yang untuk menyerang Abdullah di Mekah itu memilih salah seorang anak manusia yang paling celaka dan paling merajalela dengan kekejaman dan kebuasannya … ! Itulah dia Hajjaj ats-Tsaqafi, yang mengenai pribadinya Umar bin Abdul Aziz, Imam yang adil itu pernah berkata:  ”Andainya setiap ummat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedang kami hanya datang dengan kesalahan Hajjaj seorang saja, maka akan lebih berat lagi kesalahan kami dari mereka semua … ! “

Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang upahannya, Hajjaj datang memerangi Mekah ibukota Ibnu Zubeir. Dikepung­nya kota itu serta penduduknya, selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapat makanan dan air, dengan harapan agar mereka meninggalkan Ibnu Zubeir sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara.Dan karena tekanan bahaya kelaparan itu banyaklah yang menyerahkan diri, hingga Ibnu Zubeir mendapatkan dirinya tidak berteman atau kira-kira demikian . . . . 

Dan walaupun kesempatan untuk meloloskan diri dan menyelamatkan nyawa­nya masih terbuka, tetapi Ibnu Zubeir memutuskan akan me­mikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Maka ia tterus menghadapi serangan tentara Hajjaj itu dengan keberanian yang tak dapat dilukiakan, padahal ketika itu usianya telah mencapai tujuh puluh tahun … !Dan tidaklah dapat kita melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali jika kita mendengar percakapan yang berlangsung antara Abdullah dengan ibunya yang agung dan mulia itu, Asma’ binti Abu Bakar, yakni di saat­-saat yang akhir dari kehidupannya.Ditemuinya ibunya itu dan dipaparkannya di hadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitupun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi …. Kata ‘Asma’ kepadanya:“Anakku, engkau tentu lebih tabu tentang dirimu! Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, shabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabiaan. Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah … ! Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas ber­samamu!”Ujar Abdullah:“Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya … !

 Dan sekali­kali tidaklah anakanda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas …Kata Asma’ Pula:Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya, Engkau terima diaertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan­Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubeir ini, pahalanya orang-orang yang shabar dan bersyukur …Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal.

Dan beberapa kemudian, Abdullah bin Zubeir terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, hingga syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya. Peria­tiwa itu menjadikan Hajjaj kuasa Abdulmalik bin Marwan ber­kesempatan melaksanakan kebuasan dan dendam kesumatriya, hingga tak ada jenia kebiadaban yang lebih keji kecuali dengan menyalib tubuh syahid suci yang telah beku dan kaku itu.Bundanya, wanita tua yang ketika itu telah berusia Sembilan ­puluh tujuh tahun, berdiri memperhatikan puteranya yang disalib. Dan bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia tegak meng­hadap ke arahnya tanpa bergerak.

Sementara itu Hajjaj datang menghampirinya dengan lemah lembut dan berhina diri, katanya: “Wahai ibu, Amirul Mu’minin Abdulmalik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan baik … !” “Maka adakah kiranya keperluan ibu … ?’Bagaikan berteriak dengan suara berwibawa wanita itu berkata: “Aku ini bukanlah ibumu . . . ! Aku adalah ibu dari orang yang disalib pada tiang harapan … !

Tiada sesuatu pun yang kuperlukan daripadamu. Hanya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah Hadits yang kudengar dari Rasulullah saw. sabdanya:“Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang durjana   Adapun si pembohong telah sama-sama kita hetahui f Adapun si durjana, sepengetahuanku hanyalah kamu … ! “Abdullah bin Umar r.a. datang menghiburnya dan mengajak­nya bershabar. Maka jawabnya:  “Kenapa Pula aku tidak akan shabar, padahal kepada Yahya bin Zakaria sendiri telah diserah­kan kepada salah seorang durjana dari durjana-durjana Bani Iarail . . . !”

Oh, alangkah agungnya anda, wahai puteri Abu Bakar Shiddiq .. .. ! Memang, adakah lagi kata-kata yang lebih tepat diucapkan selain itu kepada orang-orang yang telah memisahkan kepala Ibnu Zubeir dari tubuhnya sebelum mereka menyalibnya . . .Tidak salah! Seandainya kepala Ibnu Zubeir telah diberikan sebagai hadiah bagi Hajjaj, dan Abdul Malik, maka kepala Nabi yang mulia yakni Yahya a.s., dulu juga telah diberikan sebagai hadiah bagi Salome, seorang wanita yang durjana dan hina dari Banff Iarail .’ . . ! 

Sungguh, suatu tamsil yang tepat dan kata-kata yang jitu … !Kemudian mungkinkah kiranya bagi Abdullah bin Zubeir akan melanjutkan hidupnya di bawah tingkat yang amat tinggi dari keluhuran, keutamaan dan kepahlawanan ini, sedang yang menyusukannya ialah wanita yang demikian corak bentuk­nya. . ?

Salam kiranya terlimpah atas Abdullah …
Dan kiranya terlimpah pula atas Asma’ . . .!
Salam bagi kedua mereka di lingkungan syuhada yang tidak pernah fana … !
Dan di lingkungan orang-orang utama lagi bertaqwa …


(53)  
`ABD ALLAH IBN AZ-ZUBAIR  
What a Man! What a Martyr! 

        A blessed child in his mother's womb was he, when his mother passed over the burning desert sand leaving Makkah for Al-Madiinah on her emigration route. While still unborn, Abd Allah was to emigrate with the Muhaajiruun. His mother Asmaa' (May Allah be pleased with her) had hardly reached Qubaa', when she began to suffer labor pains.  

       `Abd Allah, the first child to be born after the Hijrah, was carried to the Prophet's house in Al- Madiinah. There the Prophet (PBUH) kissed him, then chewed a date and rubbed it on the newborn's gums (a Sunnah called tahniik). Thus the Prophet's saliva was the first thing to enter `Abd Allah's belly.  

        Muslims gathered, carried the newborn baby and went round with him through the streets of Al Madiinah applauding and shouting "Allahu Akbar"( Allah is the Greatest).  

        When the Prophet (PBUH) and the Muslims settled in Al Madiinah, the Jews there, bearing deep spite against the Muslims, were subdued. They spread the rumor that their priests had made the Muslims infertile by means of their witchcraft and Al- Madiinah was not going to witness the birth of Muslim babies. When `Abd Allah came out from the unseen, he was an irrefutable proof from Allah that the Jews' claims were mere lies and deceptive tricks.  

        Abd Allah did not reach the age of majority during the Prophet's lifetime. However, his intimate contact with the Prophet (PBUH) during childhood granted him the basic materials of manliness and taught him the principles of life, principles which would be the subject of people's admiration and talk, as will be mentioned later.  The little child's character developed rapidly. He displayed extraordinary energy, intellect, and firmness. His youth was full of chasity, purity, worship, and heroism beyond imagination. As days went by his manners did not change. He was a man sure of his path, walking his way with strong will and firm belief.  

       He did not exceed the age of 27, during the conquests of Africa, Spain, and Constantinople, when he proved to be one of the great heroes. That happened, in particular, during the Battle of ifriiqiyah (Tunisia) when 20,000 Muslim soldiers confronted an army of 120,000.  

        The battle was in progress and the Muslims encountered a real danger. `Abd Allah took a look at the enemy's army and soon realized the source of their strength. It was the leader, the Berber king, who effectively encouraged his soldiers, pushing them towards death. `Abd Allah knew that the battle's outcome depended primarily on the death of their stubborn leader. But how was he going to reach him? He had first to pass through a great and fiercely fighting army. However, `Abd Allah's courage and bravery were not ever subject to question. He called his companions and said, "Protect my back, attack with me." Like a flying arrow he forced his way towards the leader, bursting through fighting warriors. When he reached him, he struck him dead. Immediately the leader fell down motionless. Then he turned towards those who surrounded their king and leader, killing them all. "Allahu Akbar" was then to be heard. The Muslims soon saw their standard lifted on the same spot where the Berber leader had commanded his soldiers. They realized that victory had almost been achieved. They strengthened their force and soon everything was over in favor of the Muslims. The leader of the Muslim army, Abd Allah Ibn Abi Sarh was told about the great role `Abd Allah Ibn Az-Zubair had played. He rewarded him with the honor of personally carrying the news of victory to Al Madiinah and to the Caliph `Uthmaan Ibn `Affaan.   Nevertheless, his miraculous and extraordinary heroism in fighting came second to his heroism in the sphere of worship.  

        His family, his youth, his position and its eminence, his wealth, his strength, nothing of that sort could hinder `Abd Allah from being an admirable God-fearing worshiper, fasting all day long while praying all night.  
        
`Umar Ibn `Abd Al-'Aziiz once asked Ibn Abi Mulaikah to describe `Abd Allah, so he said, "By Allah, I've never see a soul similar to his. When he began his prayer, he left everything behind. He bowed down and prostrated for such a long period that birds stood on his back considering him a wall or a gown thrown away. Once a projectile passed between his beard and chest while praying. By Allah, he did not feel it nor was he shaken by it. He did not stop his recitation nor hurry his bowing."  

       Similar to legends, the truthful information about `Abd Allah's worship was transmitted by history.

      His fasting, his prayer, his pilgrimage, his noble soul, his continuous fear of Allah, his close relation to Allah, his being a devoted worshiper and a fasting fighter throughout his life were all in him like interwoven threads.  

        Although there was some kind of disagreement between `Abd Allah Ibn Az-Zubair and Ibn `Abbaas, the latter described `Abd Allah in the following words: "He was a reciter of the Qur'aan, a follower of the Sunnah, submissive to Allah, a God-fearing faster, son of the Prophet's disciple. His mother was As-siddiiq's daughter, his aunt `Aa'ishah the Prophet's wife; his rank can only be ignored by the blind."  

       The strength of high mountains did not equal `Abd Allah's firmness and assiduity. Sincere, noble, strong, he was always ready to sacrifice his life for his clarity and straightforwardness.  

  During his dispute and wars with Bani Umaiyah (the Ommiads), Al-Husain Ibn Numair, the leader of the army sent by Yazild to suppress Ibn Az-Zubair's revolt, went to visit `Abd Allah Ibn Az-Zubair in Makkah after the news reached there that Yaziid had died. Al-Husain offered Abd Allah to go with him to Syria where he would use his power to force people to swear the oath of allegiance to Ibn Az-Zubair. However, Ibn Az-Zubair refused this golden chance because he was totally convinced of the necessity to take revenge on the Syrian army for the terrible crimes committed while marching on the Prophet's Madiinah to satisfy the Ommiads' greed.  

        We may differ with `Abd Allah, wishing he would have preferred peace and forgiveness by responding to a rare chance offered by Al-Husain, Yaziid's leader. Nevertheless, the man's position in favor of his conviction and faith, rejecting lies and tricks, deserves respect and admiration.  

        Al-Hajaaj attacked with his army, besieging him and his followers. At that time, among Abd Allah's warriors was a group of very skillful Abyssinian spearmen and warriors. `Abd Allah heard them talking about the late Caliph `Uthmaan (May Allah be pleased with him). Their conversation lacked all forms of justice and fairness. `Abd Allah reprimanded them severely saying, " By Allah, I don't like to defeat my enemy with the help of someone hating `Uthmaan." He sent them away at a very critical time in which he needed help so desperately, like a drowning man seeking hope.  

        His sincerity and honesty in faith and principles made him indifferent to the loss of 200 of his most skillful spearmen, the faith of whom he could no longer trust.  

        All that despite the fierce decisive battle which stood in front of him, the outcome of which could have been different if those spearmen had remained.  

        His resistance against Mu'aawiyah and Yaziid was an extraordinary legend of bravery. He considered Yaziid Ibn Mu'aawiyah Ibn Abi Sufyaan the most unqualified person to rule the Muslim community. That was true. Yaziid was totally corrupt. He did not possess one single virtue which would forgive his crimes and evils which have been narrated by history.  

       How was it possible for Ibn Az-Zubair to swear the oath of allegiance to him? He strongly refused to do so while Mu'aawiyah was alive and more so when Yaziid became caliph. Yaziid sent someone to threaten him. He, however, said, "I'm not going to swear the oath of allegiance to a drunkard."  

        Ibn Az-Zubair became Commander of the Faithful with Holy Makkah as his capital, extending his rule over Hejaz, Yemen, Basra, Kufa, Khurasan, and Syria except Damascus. The inhabitants of all these provinces swore the oath of allegiance to him. But the Ommiads were not satisfied. Restless, they waged continuous wars, most of which ended in their defeat. Nothing changed until `Abd Al Maalik Ibn Marwaan ordered one of the most harsh, criminal, cruel, and merciless human beings to attack `Abd Allah in Makkah. This was Al-Hajaaj Ath-Thaqafiy, who was described by `Umar Ibn Abd Al-'Aziiz: "If all nations were to weigh together their sins, and we came with Al Hajaaj only, the balance would sway to our part."  

        Al-Hajaaj personally led his army to invade Makkah, Ibn Az Zubair's capital. He besieged it nearly six months, preventing the provision of water and food to force people to abandon Abd Allah. Under the severe pressure of hunger, a large number of fighters surrendered and Abd Allah found himself almost alone. Although chances to save his life and soul were still available, he decided to carry out his responsibilities to the very end. He went on fighting with legendary courage, although he was 70 years old at that time. We will only grasp the full image of that situation if we listen to the conversation which took place between `Abd Allah and his mother, the great and noble Asmaa' Bint Abu Bakr, a short while before his death.  

        He went to her presenting the whole situation and what seemed to be his destiny.  Asmaa' told him, " My son, you know yourself better than anyone else. If you know that you are adhering to the truth and calling to it, then be patient till you die for its sake and don't let the boys of Bani Umaiyah reach your neck. But if life in this world has been your main concern, then you're a wretched son, destroying yourself and those killed on your side." 

        `Abd Allah said, "By Allah, mother, I've never sought life in this world, nor did I submit myself to it. I've never ruled with injustice, treated anyone unfairly, or betrayed anyone."
  
        His mother Asmaa' said, "I hope I will receive good consolation if you precede me to Paradise or I precede you. May Allah have mercy for your long prayers at night, your fasting during hot days and your reverent treatment of me and your father. Allah, I've handed over my son to Your fate; I will be pleased with Your destiny. Reward me for sacrificing my son as You reward thankful and patient believers." 

        They embraced each other and exchanged a farewell look. After one hour of fierce, unparalleled battle, the martyr received a deadly stroke. Al-Hajaaj, cruel, cunning, and deceiving as he was, insisted on crucifying the lifeless body.  

       `Abd Allah's mother, who was on that day 97 years old, went to see her crucified son. Like a high towering mountain, his mother stood in front of him when Al-Hajaaj approached with shame and humiliation and said, "O Mother, the Commander of the Faithful `Abd Al-Maalik Ibn Marwaan has recommended me to treat you well. Do you need anything?"  

       She shouted, " I'm not your mother. I'm the mother of that one crucified on the cross. I don't need you. But I'm going to tell you a hadith which I heard from the Prophet (PBUH). He said, "He will emerge from Thaqiif, a liar and a vicious one." We have already seen the liar and the vicious one. I don't think he's anyone else but you." `Abd Allah Ibn `Umar approached to console her and asked Allah to grant her patience. She replied, "What hinders me from being patient? Wasn't the head of Yahyaa (John) Ibn Zakariyaa granted to an Israelite harlot?"  How great she was, daughter of As-siddiiq!. Are there more eloquent words to be directed at those who cut `Abd Allah's head off his body before crucifying him?  

       If `Abd Allah's head had been handed over as a present to Al Hajaaj and `Abd Al-Maalik, the head of a great Prophet (PBUH), Yahyaa Ibn Zakariya had been granted to Salome, a miserable Israelite harlot. What a magnificent comparison! What truthful words!  

        Having suckled the milk of such an extraordinary mother, could `Abd Allah possibly have lived a different life, a life not reaching such great levels of success, virtue, and heroism?  
   
May peace be upon `Abd Allah. 
May peace be upon Asmaa'. 
May peace be upon them among the eternally living martyrs. 
May peace be upon them among the most reverent and pious. 


.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Zubier oo 'Abd Allah Ibn Az-Zubair ¸,ø¨¨"ª¤.