acebook

.¤ª"˜¨¯¨¨Abdurrahman Bin 'Auf ¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Ar-Rahman Ibn 'Awf¸,ø¨¨"ª¤.
"Apa sebabnya anda menangis, Hai Abu Muhammad". 

Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram, terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempat ketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal­-gumpal hingga hampir menutup ufuk pandangan mata. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota,dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan raya.Orang banyak menyangka ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang.Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. 

Orang banyak saling memanggil dan meng­himbau menyaksikan keramaian ini Serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu . . .Ummul Mu’minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya: “Apakah yang telah terjadi di kota Ma­dinah . . . ?” Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin ‘Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagang­annya . . . . Kata Ummul Mu’minin lagi: “Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?” “Benar, ya Ummal Mu’- minin .. . karena ada 700 kendaraan … !” 

Ummul Mu’rrinin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pandang­nya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadi­an yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya. Kemudian katanya: “Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: —
“Kulihat Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahanl”
Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. . . ? 
Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para shahabat Rasul...? 

Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah ke­padanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yang berbeda-beda.Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya, ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lalu berkata kepadanya: “Anda telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya 

         Kemudian ulasnya lagi: “Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah ‘azza wajalla !” Dan dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai per­buatan baik yang maka besar ….

Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurrahman bin ‘Auf. Dialah saudagar yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah . . . ! Dialah seorang Mu’min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan dunianya oleh karena keuntungan Agamanya, dan tidak suka harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. 

Maka dialah r.a. yang mem­baktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pem­berian yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan rela …Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk Islam sejak fajar menyingsing .. .. Ia telah memasukinya di saat-saat permulaan da’wah, yakni sebelum Rasulullah saw.memasuki rumah Arqam dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orang­orang Mu’min...

Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam ….

Abu Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Aw­wam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Maka tak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu­raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui Rasulullah saw. menyata­kan bai’at dan memikul bendera Islam . . . .

Dan semenjak keIslamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur tujuh puluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai seorang Mu’min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelom­pok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya: “Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!”Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menderitakan nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraiay . . . . 

Dan sewaktu Nabi saw., memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Habsyi, Ibnu ‘Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah . . . . ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya . . . .Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya:“Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niacaya kutemukan di bawahnya emas dan perak … !”Perniagaan bagi Abdurrahman bin ‘Auf r.a. bukan berarti rakus dan loba . . . . Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajiban yang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya ….Dan Abdurrahman bin ‘Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya …. 

Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan Agama tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilah­nya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makananDan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum Muslimin hijrah ke Madinah …. Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah.Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin..., sampai-sampai soal rumah tangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya yang seorang untuk memperisteri saudaranya … !Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’ . . . 

Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi:
” . . . dan berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman: “Saudara­ku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik perhati­an anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memper­isterinya … !”

Jawab Abdurrahman bin ‘Auf: “Moga-moga Allah member­kati anda, istri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga . . . !”

Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana … ia pun beroleh keuntungan … !Kehidupan Abdurrahman bin ‘Auf di Madinah baik semasa Rasulullah saw. maupun sesudah wafatnya terus meningkat...Barang apa saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok per­niagaan pasti menguntungkannya. seluruh usahanya ini dituju­kan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak … !Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat. 

Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri . . . tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepat­tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyedia­kan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam ….Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin ‘Auf itu dapat diperkirakan apabila kita memperhatikannilai dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul’alamin! 

Pada suatu hari ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:—
“Wahai Ibnu ‘Auf! anda termasuk golongan orang kaya … dan anda akan masuk surge secara perlahan-lahan . . . ! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda … !

Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyedia­kan bagi Allah pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, ke­mudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para istri Nabi dan untuk kaum fakir miakin.Diserahkannya pada suatu hari lima ratus ekor kuda untuk perlengkapan bala tentara Islam . . . dan di hari yang lain seribu lima ratus kendaraan.

 Menjelang wafatnya ia berwasiat limapuluh ribu dinar untuk jalan Allah, lalu diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup,masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya:“Harta Abdurrahman bin ‘Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat”.Ibnu ‘Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya . . .. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpul­kannya dan tidak pula dengan menyimpannya . . . . Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal ….

 Kemudian ia tidak menikmati sendirian . . . . tapi ikut menik­matinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara­-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang:“Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin ‘Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka . . . . Sepertiga lagi dipergunakannya untuk mem­bayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikannya kepada mereka”.Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela Agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu . . . !

Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum – . . . 

Sewaktu pan­dangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makan­nya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh:“Mush’ab bin Umeir telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka ke­palanya!Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihampar­kan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami … !”

Pada suatu Peristiwa lain sebagian shahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya.Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis karena itu mereka bertanya: “Apa sebabnya anda menangis, wahai Abu Muhammad . .. ?”Ujarnya: “Rasulullah saw. telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita … ?”

Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikit pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya, Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya: “Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-­pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya diantara mereka!”

Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi Saja dari per­juangan Ibnu ‘Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahui bahwa di badannya terdapat duapuluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya . . . sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya . . . . Di waktu itulah orang baru akan me­nyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang Serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf . . . ! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia pun ridla kepada Allah . . . !

Sudah menjadi kebiasaan pada tabi’at manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan . . . artinya bahwa orang­orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat gandakan, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan me­mentingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkit­kan oleh kekayaan . . . !Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabi’at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian yang unik … !

Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw. sebagai formateur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru ….Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengarah ke Ibnu ‘Auf . . . . Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara Yang enam itu, maka ujarnya: “Demi Allah, daripada aku me­nerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lalu taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke se­belah . . . !”

Demikianlah, baru saja kelompok Enam formateur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al­Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang colon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas di antara mereka yang berlima saja ….Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. 

Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin ‘Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara. Imam Ali mengatakan:“Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi . . . !” Oleh Ibnu ‘Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! 

Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu dan bagaimana ia menempa kepribadian­nya dengan sebaik-baiknya? Dan pada tahun ketigapuluh dua Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya …. Ummul Mu’minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di pe­karangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. . ..Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut . . . !Dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madh’un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain maka hendaklah ia dikubur­kan di dekat shahabatnya itu...Selagi ruhnya bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak meng­ucapkan kata-kata:“Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari shahabat­ shahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah … !”

Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya,lalu satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan sukacita yang memberi cahaya Serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa..Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu . . . . seolah-olah ada suara yang lembut merdu yang datang men­dekat ….Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw. yang pernah beliau ucapkan: “Abdurrahman bin ‘Auf dalam surga!”, lagi pula ia sedang mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya:

“Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka beroleh pahala di siai Tuhan mereka; mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita … !”(Q.S. 2 al-Baqarah: 262)

(40)  
`ABD AR-RAHMAN IBN `AWF  
What Makes You Cry, Abu Muhammad? 

        One day while Al-Madiinah was calm, heavy dust was accumulating near it till it covered the horizon. The wind pushed these quantities of yellow dust coming from the soft sand of the desert so that they came near the gates of Al-Madiinah, blowing strongly over the streets.  

       People thought it was a raging storm, but soon they heard beyond the dust the noise of a great caravan. After a while, 700 heavily laden camels were crowding the streets. People were calling each other to see the festive scene and rejoicing at the provisions the caravan might be carrying.  

       The Mother of the Faithful Aa'ishah, (May Allah be pleased with her) heard about the coming caravan and asked, "What's going on in Al-Madiinah?" She was answered, "It's a caravan of `Abd Ar Rahman Ibn `Awf coming from Syria carrying his goods." The Mother of the Faithful said, "But can one caravan make all this tremor?" "Yes, Mother of the Faithful. There are 700 camels."  

       The Mother of the Faithful nodded and looked away as if searching for the memory of a scene she had witnessed or a conversation she had heard, then she said, "I heard the Messenger of Allah (PBUH) saying,: "I saw `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf crawling into Paradise."  

       `Abd Ar-Rahman lbn `Awf crawling into Paradise! Why does he not jump or hurry into it with the first ones to embrace Islam among the Companions of the Messenger? When some of his friends informed him of what `Aa'ishah said, he remembered that he heard the Prophet (PBUH) say this hadith more than once in various forms.  

       Before unloading the camels, he hastened to `Aa'isha's house and told her, "I call you to witness that this caravan with all its loads is in the cause of Allah Almighty." And the loads of 700 camels were distributed among the people of Al-Madiinah and the places around it in a great charity festival.  

        This incident alone represents the complete image of the life of `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf, Companion of the Messenger of Allah. He was very much a successful merchant and rich man. He was the wise believer who refused that his portion of this life would sweep away his portion of religion, or that his fortune would make him lag behind the caravan of belief or the reward of Paradise; He (May Allah be pleased with him) would generously sacrifice his fortune and feel satisfied.  

        When and how did this great man embrace Islam? He did so very early in the first hours of the mission. He had done so even before the Messenger of Allah (PBUH) entered Daar Al-Arqam's house and took it as a seat to meet his faithful Companions. He was one of the eight who were the first to embrace Islam. When Abu Bakr preached Islam to him together with `Uthmaan lbn Affaan, Az Zubair lbn Al-'Awaam, Talhah Ibn `Ubaid Allah, and Sa'd lbn Abi Waqqaai they did not grudge or doubt the matter. 

On the contrary, they hastened with As-Siddiiq to the Messenger of Allah, acknowledging him as Allah's Messenger and carrying his standard. From the time he embraced Islam till he died at 75, he was a splendid model of a great believer, which made the Prophet (PBUH) count him among the ten to whom he gave glad tidings of inheriting Paradise. This also made `Umar (May Allah be pleased with him) count him among the six advisers whom he assigned for succession after himself. He said, "The Messenger of Allah (PBUH) died while pleased with them."  

        After `Abd Ar-Rahman embraced Islam, he faced his own portion of the persecution and challenges of the Quraish. When the Prophet (PBUH) ordered his Companions to emigrate to Abyssinia, Ibn `Awf emigrated but returned to Makkah. Then he emigrated to Abyssinia in the second migration, and from there to Al-Madiinah, where he witnessed Badr, Uhud, and all the battles.  He was very lucky in his trade to an extent that aroused his amazement. He said, "If I lift up a stone, I find silver and gold under it." Trade for `Abd Ar-Rahman lbn `Awf (May Allah be pleased with him) was not greed or monopoly.

 It was not even a desire to gather money or riches. It was work and duty whose success made him enjoy them and urged him to exert more effort. He used to have an enthusiastic nature so that he found comfort in any honorable work, wherever it was. If he was not praying in the mosque or fighting a battle, he was working in his trade that was thriving so much that his caravans were arriving at Al-Madiinah from Egypt and Syria, laden with everything that the Arabian Peninsula might need in garments and food.  

        Evidence of his ebullient nature is his course ever since the dawn of the Muslims' Hijrah to Al- Madiinah. In those days the Messenger (PBUH) associated every two of his Companions as brothers, a Muhaajir (Emigrant) from Makkah with an Ansaar (Helper) from Al-Madiinah. This association took place in an astounding way. Each Ansaar in Al-Madiinah shared with his brother Muhaajir everything that he owned, even his bed. If he was married to two women, he would divorce one for his brother to marry!  

        The noble Messenger (PBUH) associated `Abd Ar-Rahman lbn `Awf and Sa'd Ibn Ar-Rabii'a as brothers one day. 

Let us listen to the noble Companion Anas Ibn Maalik (May Allah be pleased with him) narrating to us what happened:  
       Sa'd said to Abd Ar-Rahman, "O brother, I'm the richest in Al Madiinah. Take half of my fortune. And I have two wives. Choose the one you like better and I'll divorce her for you to marry." So `Abd Ar- Rahman Ibn Awf said, "Allah bless your family and money. Show me the way to the market." He went to the market, bought, sold, and gained profit.  

       That is how he led his life in Al-Madiinah, whether during the Messenger's lifetime (PBUH) or after his death, doing his duty towards religion or the worlds work and succeeding in his trade, so much so that, as he said, if he lifted up a stone, he would find gold and silver under it!  
        
What made his trade blessed and successful was his pursuing the halaal, and his strictly moving away from the haraam, or even the doubtful. What made it even more blessed and successful was that it was not for `Abd Ar-Rahman alone. Allah had a bigger share in it, by which he used to strengthen the ties of his family and brothers and prepare the armies of Islam. If commerce and fortune are usually evaluated on the basis of stocks on hand and profits, Abd Ar Rahman Ibn `Awf`s fortune was evaluated on the basis of what was expended from it in the cause of Allah, the Lord of All the Worlds.  

        One day he heard the Messenger of Allah (PBUH) saying to him, "O lbn `Awf, you are a rich man, and you are going to crawl into Paradise. So lend to Allah in order to set your feet free." Ever since he heard this advice from the Messenger of Allah, he started lending to Allah a goodly loan. Then Allah increased it manifold to His credit in repaying.  

        One day, he sold some land for 40,000 dinars and distributed it all to the people of Zuhrah tribe, the Mothers of the Faithful, and the poor Muslims. Next day, he provided the Islamic armies with 500 horses, on the third day with 1,500 camels.  

       When he was about to die, he bequeathed 5,000 dinars in the cause of Allah and 400 dinars for each one who was still living of those who had witnessed ! 

Even `Uthmaan Ibn `Affaan (May Allah be pleased with him) took his share of the bequeathal in spite of his riches and said,"Abd Ar-Rahman`s money is halaal and pure. Its food gives health and blessing".  

       lbn `Awf was master of his money, not its slave. The proof of this was that he did not have trouble gathering it. He used to gather halaal money with much ease. Besides, he did not enjoy it alone, but together with his family, relatives, brethren, and all his community.  

He was so generous and hospitable that he used to say, `The people of Al-Madiinah are partners of Ibn `Awf in his money. He lends to a third of them, pays the debts of a third, and strengthens his ties of kinship and gives away a third."  

       These riches would not have made him comfortable or happy if they did not make him capable of adhering to his religion and supporting his brethren. Nevertheless, he was always apprehensive of these riches.  

        One day when he was fasting, he was served iftaar (the meal at sunset which breaks the fast). He had hardly seen it when he lost his appetite and cried saying, "when Mus'ab lbn `Umair was martyred- and he was better than me - he was wrapped in his garment so that if it covered his head, his feet showed, and if it covered his feet, his head showed. When Hamzah was martyred - and he was better than me - they found nothing to wrap him with except his garment. Now the world has been expanded for us, and we have been given much I'm afraid our blessings are hastened." 

        One day some of his friends gathered around food in his house. Just as it was put in front of them, he wept. They asked him, `What makes you weep, O Abu Muhammad?" He answered, "The Messenger of Allah (PBUH) died when he and his family had not even satisfied their appetites with barley bread. I can't see that our latter days have shown something better."  

        In addition, his large fortune never brought pride on him, so much so that they said of him, "If a stranger sees him sitting among his servants, he wouldn't be able to distinguish him from the others." If only this stranger would know a part of lbn `Awf's fortitude and good deeds - that, for example, he was wounded on the Day of Uhud with twenty wounds, one of which left a permanent lameness in one leg, and that some of his teeth fell out on the same day, leaving a clear defect in his articulation - then the stranger would know that this tall man who had a bright face but had lost his front teeth as a result of his injury at Uhud was Abd Ar-Rahman Ibn `Awf (May Allah be pleased with him).  

        Mankind's nature makes it a habit that riches court power; that is, the rich always like to have influence that protects their fortune, multiplies it, and satisfies the lust of pride and selfishness usually caused by riches. If we had seen Abd Ar-Rahman lbn `Awf with his large riches, however, we would have seen a marvelous man conquering human nature in this field and surpassing it preeminently. This showed itself when Umar lbn Al-Khattaab (May Allah be pleased with him) was dying. He chose six Companions of the Messenger of Allah (PBUH) for them to select from among themselves the new successor. The fingers were pointing at lbn `Awf. Some Companions even conversed with him about his right to win succession, but he said, "By Allah, it is better for me to put a knife in my throat and penetrate it to the other side."  

        Thus, the six chosen Companions had hardly held a meeting to select one of them to succeed `Umar Al-Faaruuq (The One Who Distinguishes Truth from Falsehood), when Ibn `Awf informed his five other brothers that he was renouncing the right given to him by `Umar when he made him one of the six from whom the successor would be selected, and that one of them would be selected from the other five. Soon, this ascetic attitude made him the judge of the noble five. They agreed that he would select the successor among them. lmam `Aliy said," I heard the Messenger of Allah (PBUH) describing you as honest among the people of heaven and earth." Finally, lbn `Awf selected `Uthmaan Ibn `Affaan successor, and all the rest agreed with him.  

       This is a real rich man in Islam. Did you see what Islam did to him, putting him above riches with all its temptations, and how it molded him in the best way? In A.H. 32 his Soul ascended to its Creator. `Aa'ishah, the Mother of the Faithful, wanted then to bestow on him a special honor, proposing as he was dying to bury him in her room near the Messenger (PBUH), Abu Bakr, and `Umar. But as a Muslim he was so refined that he was too modest to put himself in this rank. Besides, he had made a previous promise. One day, he and `Uthmaan lbn Madh`uun had promised each other that whoever died after the other would be buried near his friend.  

While his soul was preparing for its new journey, his eyes were dripping tears and his tongue was stammering, "I'm afraid of being held up by my friends because of what I had of abundant money. But soon, Allah's calmness overwhelmed him, and tender happiness covered his peaceful face. His ears listened closely, as if there were a sweet voice coming near them. Perhaps he was listening then to the truth of the Messenger's words (PBUH) to him, "`Abd Ar-Rahman Ibn `Awf will enter Paradise." 

Maybe he was listening also to Allah's promise in His book:

 "Those who spend their wealth in Cause of Allah, and do not follow up their gifts with reminders of their generosity or with injury, their reward is with their Lord. On them shall be no fear, nor shall they grieve"  (2: 262).
   
oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdurrahman Bin 'Auf ¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Ar-Rahman Ibn 'Awf¸,ø¨¨"ª¤.




.¤ª"˜¨¯¨¨Usaid Bin Hudhair oo Usaid Ibn Hudair¸,ø¨¨"ª¤.
Pahlawan hari Saqifah. 



Ia mewarisi akhlaq mulia dari nenek moyangnya turun­ temurun . . . . Ayahnya Hudlairul Kata’ib adalah seorang pe­mimpin Aus dan termasuk salah seorang bangsawan Arab di zaman jahiliyah, dan salah seorang hulubalang mereka yang perkasa . . . .seorang penyair pernah berpantun mengenai ayahnya ini:

“Andainya maut mau menghindar dari orang perkasa niscaya ia akan membiarkan Hudlair ketika ini menutupkan pintunya Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya”.Usaid mewarisi ketinggian martabat ayahnya; ia adalah salah seorang pemimpin Madinah dan bangsawan Arab dan pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya.

 Sewaktu Islam telah memilih dirinya dan ia ditunjuki ke jalan yang mulia lagi terpuji bertambah memuncaklah kemuliaannya, dan bertambah tinggi martabatnya, yakni di kala ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor penganut Agama Islam dan pembela Allah serta pembela Rasul-Nya .. .

Sewaktu Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umeir ke Madinah untuk mengajari orang-orang Muslimin Anshar yang telah meng­angkat bai’at kepada Nabi untuk membela Islam di Baitul Aqabah yang pertama, dan untuk menyeru orang-orang lain kepada Agama Allah .. pada waktu itu Usaid bin Hudlair dan Sa’ad bin Muadz, kedua-duanya adalah pemimpin kaum­nya  duduk merundingkan tentang perantau asing yang datang dari Mekah mengenyampingkan agama mereka serta menyeru kepada Agama baru yang belum mereka kenal ….Di majlis Mush’ab dan As’ad bin Zurarah ini, Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian men­dengarkan kalimat-kalimat petunjuk yang mengajak mereka kepada Allah yang diserukan Mush’ab bin Umeir . . . . Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Usaid yang melampiaskan segala kemarahan dengan berangnya …. 

Mush’ab lalu berkata: “Sudikah anda duduk mendengarkannya? Bila ada sesuatu yang menyenangkan anda, anda dapat menerimanya, dan jika anda tidak menyukainya, kami hentikan apa yang tidak anda sukai itu … !”Usaid adalah seorang yang cemerlang otaknya, tenang hati­nya, sehingga digelari oleh penduduk Madinah dengan al-Kamil, si “sempurna”...yakni gelar yang dimiliki ayahnya dulu... Maka tatkala diperhatikannya Mush’ab mengandalkan hukum logika dan akal itu, ditancapkannya tombaknya ke tanah, lalu berkata kepada Mush’ab:  ”Benar kata anda itu! Nah, cobalah anda kemukakan apa yang ada pada anda!”Mush’ab lalu membacakan ayat-ayat al-Quran dan men­jelaskan seruan Agama baru ini . . . , Agama yang haq, dan Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya. 

Orang-orang yang menghadiri majlis ini sama mengatakan: “Demi Allah sebelum mengucapkannya telah terlihat pada wajah Usaid sikap keislamannya …… Kita mengenalnya pada cahaya muka dan sikap lunaknya … !”Belum lagi selesai Mush’ab dengan pembicaraannya, Usaid pun berseru dengan amat terkesan: “Alangkah baiknya kata­-kata ini dan alangkah indahnya . .. ! Apa yang kalian lakukan bila kalian hendak masuk Agama ini..! Jawab Mush’ab: “Anda bersihkan badan, pakaian, dan ucapkan syahadat yang haq, kemudian anda shalat . . . !”

Sesungguhnya kepribadian Usaid, benar-benar kepribadian yang lurus, kuat dan murni, begitu ia mengenal jalannya, ia tidak ragu-ragu lagi maju melangkah menyambutnya dengan kebulatan hati …. Usaid tegak berdiri untuk menerima Agama yang telah membuka pintu hatinya dan menyinari dasar jiwanya, lalu ia mandi dan membersihkan diri, kemudian sujud kepada Allah Tuhan semesta alam, menyatakan keislamannya dan menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliyah . . . !

Kewajiban Usaid sekarang ini ialah segera kembali kepada Sa’ad bin Mu’adz, untuk menyampaikan laporan dari tugas yang dibebankan kepadanya semula . . . yaitu untuk mengancam Mush’ab bin Umeir dan mengusirnya . . . . Dan iapun kembalilah kepada Sa’ad .. .. Belum lagi Usaid sampai ke dekat mereka, Sa’ad mengatakan kepada orang-orang sekelilingnya: “Aku ber­sumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan air muka yang berlainan dari sewaktu ia pergi tadi … !” Benar . . . ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan rasa amarah dan permusuhan, dan kembali dengan wajah yang di­liputi rahmat dan nur, sakinah kedamaian … !

Usaid memutuskan akan mempergunakan kecerdikannya. . .la tahu benar bahwa Sa’ad bin Mu’adz sama betul dengan dirinya tentang kebersihan jiwa, kekerasan kemauan, ketenangan berfikir dan ketepatan penilaian ….  Dan ia mengetahui bahwa tak akan ada penghalang antaranya dengan Islam sesudah men­dengar sendiri apa yang telah didengarnya tadi tentang kalam Allah, yang begitu baik dibacakan dan diuraikan kepada mereka oleh utusan Rasulullah, Mush’ab bin Umeir . .  .Tetapi seandainya dikatakannya kepada Sa’ad: “Sebenarnya aku telah masuk Islam, pergilah pula kamu masuk Islam”, niscaya akan mengundang pertentangan yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan .. . . 

Kalau begitu, baiklah dibangkitkannya semangat keberanian Sa’ad sebagai suatu cara untuk mendorongnyapergi ke majlis Mush’ab sampai ia mendengar dan menyaksikannya sendiri . . . . Maka bagaimana jalan selanjutnya untuk mencapai ini … ?Sebagaimana telah kita sebutkan dahulu, Mush’ab menjadi tamu di rumah As’ad bin Zurarah …sedang As’ad bin Zurarah adalah anak bibi dari Sa’ad bin Mu’adz  . . . 

Maka kata Usaid kepada Sa’ad: “Sungguh, aku telah mendapat berita bahwa Bani Haritsah telah berangkat ke rumah As’ad bin Zurarah hendak membunuhnya, padahal mereka tahu bahwa ia adalah anak bibinya … !”Didorong oleh rasa amarah dan semangat pembelaan, Sa’ad bangkit langsung mengambil tombaknya dan dengan bergegas pergi ke tempat As’ad dan Mush’ab yang ketika itu sedang berkumpul bersama Kaum Muslimin lainnya . . . . 

Sewaktu ia sampai ke dekat majlis, ia tidak menemukan keributan ataupun kegaduhan, yang ada malah sakinah atau ketenangan yang meliputi seluruh jama’ah, sedang di tengah-tengah mereka berada Mush’ab bin Umeir membacakan ayat-ayat Allah dengan penuh khusyu’, sementara yang lain menyimakkannya dengan penuh perhatian . . . .Ketika itu mengertilah Sa’ad akan siasat yang telah diatur Usaid untuk menjebaknya, yaitu agar ia datang ke majlis ini dan dapat mendengarkan sendiri pembicaraan Mush’ab bin Umeir sebagai utusan Islam. Dan tidak salah firasat Usaid mengenai shahabatnya! Tak lama setelah Sa’ad mendengarkan­nya, maka dibukakan Allah lah dadanya untuk menerima Islam, dan secepat kilat iapun telah mengambil kedudukannya di barisan orang-orang beriman yang mula pertama …Dalam hati serta akal Usaid bersinar cahaya iman yang kuat …. Keimanan memberinya bekal sifat hati-hati, penyantun dan penilaian yang tepat yang menjadikannya sebagai orang kepercayaan ….

Dalam peperangan Bani Musthaliq meledaklah dendam yang terpendam di dada Abdullah bin Ubai tokoh munafiqin maka katanya kepada orang-orang sekitarnya dari penduduk Madinah: “Kalian telah menempatkan mereka di negeri kalian, dan kamu berbagi harta dengan mereka …. Ketahuilah, demi Allah, seandainya kalian tak memberikan lagi apa yang ada di tangan kalian kepada mereka niscaya mereka akan berpindah ke lain negeri, bukan negeri kalian ini! Ingat demi Allah, kalau nanti kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari sana . . . !”

Seorang shahabat yang mulia Zaid bin Arqam mendengar kalimat-kalimat, bahkan racun kemunafikan yang membakar ini. Karenanya menjadi kewajibannya untuk memberitahukannya kepada Rasulullah saw. 

Perasaan Rasul sangat tertusuk kebetulan Usaid menemui kalian, Nabi saw. pun bertanya kepadanya:
Belum sampaikah kepadamu apa yang diucapkan oleh shahabatmu?
Shahabat yang mana ya Rasulallah? 
Ujar Usaid.Abdullah bin Ubai.Ucapan apa yang anda dengar?
Katanya, seandainya ia kembali ke Madinah, maka yang mulia akan mengeluarkan yang hina daripadanya!Demi Allah, andalah yang akan mengeluarkannya dari Madinah insya Allah . .. ! Demi Allah dialah yang rendah, dan andalah yang mulia … !

Kemudian kata Usaid pula: “Ya Rasulallah, kasihanilah dia, demi Allah, ketika Allah membawa anda kepada kami, kaumnya sedang menyiapkan mahkota untuk ditaruh di atas kepalanya karena ia akan mereka angkat menjadi raja di kota Madinah; ia memandang Islam telah merenggut kerajaan itu dari tangannya . . . !”

Dengan daya pikir yang mendalam, sikap yang tenang dan ucapan yang jelas, Usaid senantiasa berhasil memecahkan per­soalan-persoalan dengan analisa-analisanya yang nyata, tepat dan tajam ….

Di hari Saqifah, tak lama setelah wafatnya Rasulullah saw. 

Segolongan orang Anshar yang dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang khilafah, sewaktu debat dan tukar fikiran semakin panas, maka pendirian Usaid   sebagaimana kita ketahui ia adalah seorang tokohAnshar mempunyai pengaruh besar dalam menjernihkan suasana, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya laksana cahaya fajar di waktu subuh dalam menentukan arah ….Usaid berdiri mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kaumnya dari golongan Anshar, katanya:  ”Tuan-tuan me­ngetahui bahwa Rasulullah saw. adalah dari golongan Muhajirin . . . ? Karenanya khalifah juga sewajarnyalah dari golongan Muhajirin! Dan sesungguhnya kita, adalah pembela Rasulullah . . . maka kewajiban kita sekarang untuk membela khalifah­nya . . . Ternyata kata-kata itu menjadi si tawar dan si dingin . . .Usaid bin Hudlair r.a. hidup sebagai seorang ahli ibadah dan yang taat, yang mengurbankan jiwa dan hartanya di jalan kebaikan dan menjadikan wasiat Rasulullah saw. terhadap orang Anshar sebagai pedoman dan sikap hidupnya:

“Shabar dan tabahlah kalian . . . . sampai kalian men­jumpai aku di telaga surga . . . . “.

Oleh karena Agama dan akhlaqnya ia dimuliakan dan dicintai Abu Bakar Shiddiq dan begitu pula la memperoleh kedudukan yang serupa di hati Amirul Mu’minin Umar dan di hati semua shahabat yang lain.Mendengar alunan suaranya bila ia sedang membaca al­Quran seolah-olah beroleh harta rampasan yang sangat digemari oleh para shahabat. Suaranya khusyu’ mempesona dan menerangi jiwa, hingga menurut Rasulullah saw. Malaikat pernah mendekati pembacanya di suatu malam khusus untuk mendengarkan­nya….Pada bulan Sya’ban tahun 20 Hijriah, berpulanglah Usaid . . . .

 Amirul Mu’minin tidak mau ketinggalan turut serta memikul sendiri jenazahnya di atas bahunyadalam mengantarkan ke makamnya. Di bawah tanah Baqi’, di sanalah para shahabat menyimpan tubuh seorang Mu’min besar. 

Mereka kembali ke kota dengan mengenangkan jasa-jasanya sambil mengulang ­ulang sabda Rasul yang mulia tentang dirinya:
 “Sebaik-baik laki-laki, Usaid bin Hudlair …

(39)  
USAID IBN HUDAIR  
The Hero of the Day of As-Saqiifah 
        He inherited noble characteristics, handed down from father to son. His father, Hudair Al-Kataaib, was a leader of Al-Aws and one of the great nobles and strong fighters of the Arabs in the pre Islamic era.  

       Usaid inherited from his father his status, courage, and hospitality. Before becoming a Muslim, he was one of Al-Madiinah's leaders, a noble of the Arabs, and one of their excellent spearmen.  

        When Islam attracted him and he was guided to the Way of the Almighty, Worthy of All Praise, he was best honored when he took his place as one of Allah and His Messenger's Ansaar and one of the foremost believers in the great religion of Islam.  

        He embraced Islam quickly, decisively, and honorably. The Messenger (PBUH) sent Mus'ab Ibn `Umair to Al-Madiinah to teach and instruct the Muslim Ansaar who had given their allegiance to the Prophet (PBUH) in the First Pledge of `Aqabah and to call others to Allah's religion.  

        On that day Usaid lbn Hudair and Sa'd Ibn Mu'aadh, who were leaders of their people, were discussing this stranger who had come from Makkah to denounce their religion and call to a new one unknown to them. Sa'd said to Usaid, `Go directly to this man and deter him."  
    
    So Usaid carried his spear and hurried to Mus`ab while he was a guest of As'ad Ibn Zuraarah, one of the leaders of Al Madiinah who was among the early believers in Islam. And there, where Mus`ab and As'ad Ibn Zuraarah were sitting, Usaid saw a crowd of people listening carefully to the rational words with which Mus`ab Ibn `Umair was calling them to Allah. Usaid surprised them with his anger and outburst. Mus`ab said to him, "Won't you sit down and listen? If our matter pleases you, accept it, and if you hate it, we'll stop calling you to what you hate."  

       Usaid was an enlightened and intelligent man whom the people of Al-Madiinah called "Al Kaamil" (The Perfect), a nickname that his father used to bear before him. So, when he found Mus`ab appealing to logic and reason, he stuck his spear in the ground and said to him, "You're right, tell me what you have."  

       Mus`ab started reciting the Holy Qur'aan to him and explaining to him the call of the new religion, the true religion whose standard Muhammad (PBUH) was ordered to spread. Those who attended this assembly said, "By Allah, we saw Islam in Usaid's face before he spoke. We knew it because of his brilliance and easiness."  

       No sooner did Mus`ab finish his words than Usaid was overwhelmed and he shouted, "How good these words are! What do you do if you want to embrace this religion?" Mus`ab said, "Purify your body and clothes, and bear true witness, then pray."  

       Usaid's character was straight, strong, and clear. He would not hesitate a second in face of strong opposition, if he knew his own way.  

        So Usaid got up quickly to welcome the new religion which was penetrating his heart and overwhelming his soul. He washed, purified himself, and prostrated to Allah the Lord of the Worlds in worship, announcing his embracement of Islam and abandonment of paganism.  

        Usaid had to go back to Sa'd Ibn Mu'aadh to give him the news of the task which had been assigned to him to deter and expel Mus`ab Ibn `Umair. He went back to Sa'd, but as he approached Sa'd said to those around him, "Usaid's face is changed. I swear it." Yes. He went with a challenging, angry face and came back with a face full of mercy and light.  Usaid decided to use his intelligence. He knew that Sa'd Ibn Mu'aadh was well known for his pure nature and keen determination. He knew that Islam was not far from him. He only needed to hear what he himself had heard of Allah's word, which the Messenger's envoy to them, Mus'ab lbn Umair, was good at reciting and explaining. But if he said to Sa'd, I've embraced Islam; go and embrace it, the outcome would not have been ensured. He had to prompt Sa'd in a way that would push him to Mus`ab's gathering in order to see and listen. How could he do this?  

       As we said before, Mus'ab was a guest at As'ad Ibn Zuraarah's house. As'ad Ibn Zuraarah was Sa'd lbn Mu'aadh's cousin. So Usaid said to Sa'd, "I was told that the Haarithah tribe went out to kill As'ad Ibn Zuraarah and they know he is your cousin."  

       Angry and heated, Sa'd took his spear and ran fast to where Sa'd, Mus`ab, and the Muslims with them were sitting. When he came near the gathering, he found nothing but quiet overwhelming them while Mus`ab Ibn `Umair sat in the middle of them reciting Allah's verses humbly, and they carefully listened to him.  

       Just then he realized the trick that Usaid had played on him to make him go to this gathering and listen to what the envoy of Islam, Mus`ab Ibn `Umair was saying. So, Usaid's insight into his friend's character proved to be accurate.  

        Sa'd had hardly heard the Qur'aan when Allah opened his heart to Islam, and soon he took his place among the first believers.  

       Usaid bore a strong, bright belief in his heart and mind, and his belief made him full of patience discernment, and sound appraisal that made him a trustworthy man.  

        During the expedition against Bani Al-Mustaliq, Abd Allah Ibn Ubaiy was so furious that he said to the people of Al-Madiinah around him, "You've let them enter your town and share your money. By Allah, if you cease giving them what you have, they'll turn to another place. By Allah, if we return to Al- Madiinah, indeed the more honorable will expel the meaner from there."  

        The venerable Companion, Zaid Ibn Arqam heard these poisoned hypocritical words, so he had to inform the Messenger of Allah (PBUH). The Messenger (PBUH) was much hurt. When he met Usaid he said, "Don't you know what your friend has said?" Usaid asked, "Which friend, O Messenger of Allah?" The Messenger of Allah (PBUH) answered, "`Abd Allah Ibn Ubaiy." Usaid said, "What did he say?" The Messenger said, "He claimed that if he returned to Al-Madiinah, the more honorable will expel the meaner from there." Then Usaid said, "By Allah, you, O Messenger of Allah, will expel him from there, by Allah's permission. By Allah, he is the meaner and you are the more honorable."  

       He added, "O Messenger of Allah, treat him gently. By Allah, Allah brought you to us while the people of Abd Allah were preparing to crown him king of Al-Madiinah. He sees that Islam has deprived him of kingship."  

       With this calm, profound thinking, Usaid used to solve problems using his presence of mind.  

        On the Day of As-Saqiifah, just after the death of the Messenger of Allah (PBUH), a group of the Ansaar headed by Sa'd Ibn `Ubaadah announced their right to succession and debated furiously. Usaid, who was a prominent Ansaar, as we know, took a positive attitude in settling the matter and his words were like the dispelling of shadows on the course of events. He stood to address the group of Ansaar:  "You know that the Messenger of Allah (PBUH) was one of the Muhaajiruun. His successor, then, should be one of the Muhaajiruun. We used to be the Ansaar of the Messenger of Allah. Today we have to be the Ansaar of his successor."  And his words brought peace and safety.  Usaid Ibn Hudair (May Allah be pleased with him) spent his life as a humble worshipper, sacrificing his energy and money in the cause of goodness, and putting the advice of the Messenger of Allah (PBUH) to the Ansaars in his mind: "!Be patient until you meet me in the realm of Paradise.!"  

       He was the object of honor and love by As-Siddiiq because of his religiosity and noble manners. He also had the same status in the heart of the Commander of the Faithful `Umar and in the hearts of all the Companions.  

       Listening to his voice while reciting Qur'aan was one of the greatest honors that the Companions aspired to. His voice was so humble and resonant that the Messenger (PBUH) said about it that the angels came near its possessor one night to hear it. 

        In the month of Shaaban A.H. 20, Usaid died. The Commander of the Faithful `Umar insisted on carrying his bier on his shoulders. Under the earth of Al-Baqii', the Companions buried the body of a great believer. They went back to Al-Madiinah remembering his virtues and repeating the noble Messenger's words about him:
"What an excellent man Usaid Ibn Hudair is!"



.¤ª"˜¨¯¨¨Usaid Bin Hudhair oo Usaid Ibn Hudair¸,ø¨¨"ª¤.




Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨Tsabit Bin Qeis oo Thaabit Ibn Qais¸,ø¨¨"ª¤.
Juru bicara Rasulullah. 



Hassan adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam... Dan Tsabit adalah juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam...Kalimat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan mempesonakan ….

Pada tahun datangnya utusan-utusan dari berbagai penjuru semenanjung Arabia, datanglah ke Madinah perutusan Bani Tamim yang mengatakan kepada Rasulullah saw.:  ”Kami datang akan berbangga diri kepada anda, maka idzinkanlah kepada penyair dan juru bicara kami menyampaikannya … !” Maka Rasulullah, saw. tersenyum, lalu katanya; “Telah ku­idzinkan bagi juru bicara kalian, silakanlah . . !”Juru bicara mereka Utharid bin Hajib pun berdirilah dan mulai membanggakan kelebihan-kelebihan kaumnya . . . . 

Dan sewaktu pernyatakannya telah selesai, Nabi pun berkata kepada Tsabit bin Qeis: 
“Berdirilah dan jawablah!”

Tsabit bangkit menjawabnya: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah”.

“Langit dan bumi adalah ciptaan-Nya, dan titah-Nya telah berlaku padanya.Ilmu-Nya meliputi kerajaan-Nya, tidak satu pun yang ada kecuali dengan karunia-NyaKemudian dengan qodrat-Nya juga, dijadikan-Nya kita golongan dan bangsa-bangsa.Dan Ia telah memilih dari makhluk-Nya yang terbaik seorang Rasul-Nya... Berketurunan, berwibawa dan jujur kata tutur­nya..Dibekalinya al-Quran, dibebaninya amanat . . . . Membimbing ke jalan persatuan ummat ….Dialah pilihan Allah dari yang ada di alam semesta . . . .Kemudian ia menyeru manu­sia agar beriman kepadanya, maka berimanlah orang-orang muhajirin dari kaum dan karib kerabatnya . . . yakni orang-orang yang termulia keturunannya, dan yang paling baik amal perbuat­annya. Dan setelah itu, kami orang-orang Anshar, adalah yang pertama pula memperkenankan seruannya. 

Kami adalah pembela­-pembela Agama Allah dan pendukung Rasul­Nya….”.

Tsabit telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah saw. dan peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak pengurbanannya menakjubkan, sangat menakjubkan . . . ! Dalam peperangan-peperangan menumpas orang-orang murtad, ia selalu berada di barisan terdepan, membawa bendera Anshar, dan menebaskan pedangnya yang tak pernah menumpul dan tak pernah berhenti ….Di perang Yamamah yang telah beberapa kali kita bicarakan, Tsabit melihat terjadinya serangan mendadak yang dilancarkan oleh tentara Musailamatul Kaddzab terhadap Muslimin di awal pertempuran, maka berserulah ia dengan suaranya yang keras memberi peringatan:  ”Demi Allah, bukan begini caranya kami berperang bersama Rasulullah saw...................................“‘

 Kemudian ia pergi tak seberapa jauh, dan tiada lama kembali sesudah membalut badan­nya dengan balutan jenazah dan memakai kain kafan, lalu berseru lagi:  ”Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dibawa mereka . . .  yakni tentara Musailamah  . . . dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang diper­buat mereka . . .  yakni Kaum Muslimin yang kendor semangat dalam peperangan  . . . !”

Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah saw. sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin . . . . Keduanya menggali lobang yang dalam untuk mereka berdua. Kemudian mereka masuk dengan berdiri di dalamnya, lalu mereka timbunkan pasir ke badan mereka sampai menutupi setengah badan . . . . Demikianlah mereka berdiri tak ubah bagai dun tonggak yang kokoh, setengah badan mereka ter­benam ke dalam pasir dan terpaku ke dasar lobang …. semen­tara setengah bagian atas dadanya, kening dan kedua lengan mereka siap menghadapi tentara penyembah berhala dan orang-­orang pembohong …. Tak henti-hentinya mereka memukulkan pedang terhadap setiap tentara Musailamah yang mendekat, sampai akhirnya kedua mereka mati syahid di tempat itu, dan reduplah sudah sinar sang surya mereka … !

Peristiwa syahidnya kedua pahlawan r.a. ini bagaikan pekikan dahsyat yang menghimbau Kaum Muslimin agar segera kembali kepada kedudukan mereka hingga akhirnya mereka berhasil menghancurkan tentara Musailamah, mereka tersungkur me­nutupi tanah bekas mereka berpijak ….Dan Tsabit bin Qeis yang mencapai kedudukan puncak sebagai jubir dan sebagai pahlawan perang, juga memiliki jiwa yang selalu ingin kembali menghadap Allah Maha Pencipta, hatinya khusyu’ dan tenang tenteram. Ia adalah pula salah seorang Muslimin yang paling takut dan pemalu kepada Allah ….

Sewaktu turun ayat mulia:

“Sesungguhnya Allah tidak suha pada setiap orang yang congkak dan sombong”. 
(Q.S. 31 Luqman:18)

Tsabit menutup pintu rumahnya dan duduk menangis …. Lama din terperanjak begitu saja, sehingga sampai beritanya kepada Rasulullah saw. yang segera memanggilnya dan menanyainya.Maka kata Tsabit:  ”Ya Rasulallah, aku senang kepada pakaian yang indah,dan kasut yang bagus, dan sungguh aku takut dengan ini akan menjadi orang yang congkak dan sombong …Bicaranya itu dijawab oleh Nabi saw. sambil tertawa senang:“Engkau tidaklah termasuk dalam golongan mereka itu, bahkan engkau hidup dengan kebaikan …. dan mati dengan kebaikan ….dan engkau akan masuk surga . . . !”

Dan sewaktu turun firman Allah Ta’ala:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian angkat suara melebihi suara Nabi . . . dan jangan kalian berkata kepada Nabi dengan suara keras sebagaimana kerasnya, suara sebahagian kalian terhadap sebahagian yang lainnya, karena dengan demikian amalan kalian akan gugur, sedang kalian tidak menyadarinya … !” 
(Q.S. 49 al-Hujurat: 2)

Tsabit menutup pintu rumahnya lagi, lalu menangis . . . . Rasul mencarinya dan menanyakan tentang dirinya, kemudian me­ngirimkan seseorang untuk memanggilnya …. Dan Tsabit pun datanglah ….Rasulullah menanyainya mengapa tidak kelihatan muncul, yang dijawabnya:  ”Sesungguhnya aku ini seorang manusia yang keras suara … dan sesungguhnya aku pernah meninggikan suaraku dari suaramu wahai Rasulullah . .. ! 

Karena itu tentu­lah amalanku menjadi gugur dan aku termasuk penduduk neraka … !”

 Rasulullah pun menjawabnya:  
”Engkau tidaklah termasuk salah seorang di antara mereka bahkan engkau hidup terpuji . . . dan nanti akan berperang sampai syahid, hingga Allah bakal memasukkanmu ke dalam surga . . .!”Masih tinggal dalam kisah Tsabit ini satu peristiwa lagi, yang kadang-kadang tak dapat diterima dengan puas oleh hati orang-orang yang memusatkan pikiran, perasaan dan mimpi­mimpi mereka kepada alam kebendaan yang sempit semata, yakni alam yang selalu mereka raba, mereka lihat atau mereka cium … !

Namun bagaimanapun, peristiwa itu benar-benar terjadi, dan tafsirnya nyata dan mudah bagi setiap orang yang di samping mempergunakan mata lahir, mau pula menggunakan mata bathinnya….

Setelah Tsabit menemui syahidnya di medan pertempuran, melintaslah di dekatnya salah seorang Muslimin yang baru saja masuk Islam dan ia melihat pada tubuh Tsabit masih ada baju besinya yang berharga maka menurut dugaannya ia berhak mengambilnya untuk dirinya, lalu diambilnya . . . Dan marilah kita serahkan kepada empunya riwayat itu menceritakannya sendiri:“Selagi seorang laki-laki Muslimin sedang nyenyak tidur, ia didatangi Tsabit dalam tidurnya itu, yang berkata padanya: “Aku hendak mewasiatkan kepadamu satu wasiat tapi jangan sampai kau katakan bahwa ini hanya mimpi lalu kamu sia-siakan!Sewaktu aku gugur sebagai syahid, lewat ke dekatku se­seorang Muslim lalu diambilnya baju besiku . . . .

Rumahnya sangat jauh, orang tersebut memiliki kuda kepalanya mendongak ke atas seakan-akan tertarik tali kekangnya ….Baju besi itu disimpan ditutupi sebuah periuk besar, dan periuk itu ditutupi pelana unta (sakeduk) …. Pergilah kepada Khalid minta ia untuk mengirimkan orang mengambilnya! Kemudian apabila kamu sampai ke kota Madinah menghadap khalifah Abu Bakar, katakan kepadanya bahwa aku mempunyai utang sekian banyaknya, aku mohon agar ia bersedia mem­bayarnya ….Maka sewaktu laki-laki itu terbangun dari tidurnya, ia menghadap kepada Khalid bin Walid, lalu diceritakannyalah mimpi itu . . .. Khalid pun mengirimkan untuk mencari dan mengambil baju besi itu, lalu menemukannya sebagai digambar­kan dengan sempurna oleh Tsabit . . – .

Setelah Kaum Muslimin pulang kembali ke Madinah, orang tadi menceritakan mimpinya kepada khalifah, beliau pun me­laksanakan wasiat Tsabit …. Satu-satunya wasiat dari seorang yang telah meninggal ialah wasiatnya Tsabit bin Qeis yang terlaksana dengan sempurna.

“Dan jangan sekali-kali kalian sangka orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, karena sebenarnya mereka masih hidup, dan diberi rizqi di sisi Tuhan mereka. . . !”
(Q.S. 3 Ali Imran: 169)

(38)  
THAABIT IBN QAIS  
The Speaker for the Messenger of Allah! 

        While Hassaan was the poet of the Messenger of Allah and Islam, Thaabit was his speaker. The words coming from his mouth were strong, comprehensive, and perfect.  

       In the Year of Delegations, some men of the Tamiim tribe arrived at Al-Madiinah and said to the Messenger of Allah (PBUH), "We have come to brag, so please permit our poet and speaker." The Messenger (PBUH) smiled and told them, "I permit your speaker. Let him speak."  
   
    Their speaker, `Utaarid Ibn Haajib, stood and boasted of his people's glories.  

        After he had finished, the Prophet (PBUH) told Thaabit Ibn Qais, "Answer him.' Thaabit stood up and said, "All praise to Allah Who created the heavens and earth, in which He controls everything, Whose throne extends over the heavens and the earth. And nothing is at all except out of His kindness. It is part of His omnipotence to make us models and selected His Messenger out of the best of His creation, among whom he is of the noblest descent and of the most sincere speech. He sent him down His book and made His creation in trust of him. And he was the best choice of Allah. Then he called on people to believe in him. The Muhaajiruun of his people and his own kinsmen believed in him. They were of the noblest descent and best deeds. Then we the Ansaar were the first to respond. We are the adherents of Allah and the ministers of His Messenger." 

        Thaabit witnessed the Battle of Uhud with the Messenger of Allah (PBUH) and the battles that followed. He was incredibly willing to sacrifice himself In the apostasy wars, he used to be in the vanguard, holding the Ansaar standard and striking with a sword that never retreated.  

        In the Battle of Al-Yamaamah, which we have already mentioned more than once, Thaabit witnessed the sudden assault that the army of Musailamah the Liar launched against the Muslims at the beginning of the battle. He shouted in his loud warning voice saying, "By Allah, we did not use to fight that way with the Messenger of Allah (PBUH)!"  
       
Then he went not far away, and returned after anointing himself and putting on his shroud. He shouted once more, "O Allah! I clear myself of what those people have done (i.e. the army of Musailamah) and I apologize to You for what they have done (i.e. the Muslims' slackness in fighting).''  

        Then Saalim, the servant of the Messenger of Allah (PBUH) who was holding the standard of the Muhaajiruun, joined him. Both dug a deep hole for themselves and then stood in it. They piled up the sand on themselves till it covered their hips. They stood as two gigantic mountains, with the lower body of each burned in the sand and fixed in the bottom of the hole, while their upper bodies received the armies of paganism and infidelity.  

        They kept striking with their swords whoever came near them from Musailamah's army until they were martyred in their place.  

       The sight of them (May Allah be pleased with them) was the greatest cry that contributed to bringing the Muslims back to their positions so that they could change the army of Musailamah the Liar into trodden sand.  

        Thaabit lbn Qais, who excelled as a speaker and warrior, used to be self-reproaching and to humble himself to Allah. Among the Muslims, he was extremely modest and afraid of Allah.   When this noble verse was sent down "GOD does not love any proud and boastful one" (31:18), Thaabit shut his house door and kept crying. It was a long time before the Messenger of Allah (PBUH) knew about him. He sent for him and asked. Thaabit said, "O Messenger of Allah! I like beautiful clothes and foot wear. I am afraid to be of the arrogant." 
The Prophet (PBUH) laughed with content and answered, 
"You are not one of them. You'll live and die with blessings and enter Paradise."  

        And when the following words of Allah the Exalted were sent down 

"O you who believe! Do not raise your voices above the Prophet's voice, and do not speak loudly to him, as you speak to one another, lest your deeds are rendered fruitless, while you are unaware" 
(49 :2), 

Thaabit shut himself indoors and kept crying again. When the Messenger missed him, he asked about him and sent or him. When Thaabit came, the Prophet (PBUH) asked him the reason for his absence. 

Thaabit answered, "I have a loud voice and I used to raise my voice above your voice, Messenger of Allah (PBUH). My deeds are rendered fruitless then, and I'm of the people of the Fire." 

The Messenger of Allah (PBUH) answered, 
"You are not one of them. You'll live praiseworthy and be martyred, and Allah will let you into Paradise."  

        One incident is left in Thaabit's story about which those whose thoughts, feelings, and views are limited to their restricted, tangible, materialistic world would not feel comfortable! Inspite of this, the incident was real, and is quite easily explained to whoever uses sight and insight together.  
     
   After Thaabit had fallen martyr in battle, one of the Muslims who had not known Islam until recently passed by him and saw Thaabit's precious armor on his corpse. He thought it was his right to take it and he did.  

        Let the narrator of the incident narrate it himself: While one of the Muslims was asleep, Thaabit appeared to him in his dream and said to him, "I entrust you with my will, so be careful not to say it's a dream and waste it. When I fell martyr yesterday, a Muslim man passed by me and took my armor. His house is on the outskirts of the town. His horse is tall. He put his pot on the armor and above the pot put his saddle. Go to Khaalid and tell him to take it. And when you go to Al-Madiinah and meet the successor of the Messenger of Allah (PBUH) Abu Bakr, tell him I owe so-and-so. Let him pay my loan."  

        When the man got up, he went to khaalid lbn Al-Waliid and related to him his dream. So Khaalid sent someone to bring the armor, and he found it exactly as Thaabit had described it. And when the Muslims went back to Al-Madiinah, the Muslim narrated the dream to the caliph, and he fulfilled Thaabit's will. There is not in Islam a dead man's will that was fulfilled in that way after his death except that of Thaabit  Ibn Qais.  

        Truly, man is a big mystery. 
"Think not of those who are killed in the Way of Allah as dead. Nay, they are alive, with their Lord, and they have provision" (3 :169). 
 

.¤ª"˜¨¯¨¨Tsabit Bin Qeis oo Thaabit Ibn Qais¸,ø¨¨"ª¤.


Para Sahabat - The Companions
.¤ª"˜¨¯¨¨Uthbah Bin Ghazwan oo 'Utbah Ibn Ghazwaan¸,ø¨¨"ª¤.
 "Esok lusa akan kalian lihat
Pejabat-pejabat Pemerintah yang lain daripadaku" 




Di antara Muslimin yang lebih dulu masuk Islam, dan di antara muhajirin pertama yang hijrah ke Habsyi, kemudian ke Madinah . .. , dan di antara pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya yang telah berjasa besar di jalan Allah, terdapat seorang laki-laki yang berperawakan tinggi dengan muka ber­cahaya dan rendah hati, 

namanya Utbah bin Ghazwan ….

la adalah orang ketujuh dari kelompok tujuh perintis yang bai’at berjanji setia, dengan menjabat tangan kanan Rasulullah dengan tangan kanan mereka, bersedia menghadapi orang-orang Quraisy yang sedang memegang kekuatan dan kekuasaan serta gemar menuruti nafsu angkara ….Pada hari-hari pertama dimulainya da’wah dan pada hari-hari penderitaan dan kesukaran, Utbah bersama kawan­-kawannya telah memegang teguh suatu prinsip hidup yang mulia, yang kelak kemudian menjadi bekal dan makanan bagi hati nurani manusia dan akan berkembang menjadi luas melalui perkembangan masa ….Sewaktu Rasulullahsaw. menyuruh shahabat-shahabatnya berhijrah ke Habsyi, termasuklah Utbah di antara orang muha­jirin itu . . . .

 Tetapi kerinduannya kepada Nabi saw. tidak membiarkannya menetap di sana, segeralah ia menjelajah daratan dan mengarungi lautan kembali ke Mekah, lalu tinggal di sana di samping Rasul hingga datang saatnya hijrah ‘ke Madinah, maka Utbah pun hijrahlah bersama Kaum Muslimin lainnya.. .Dan semenjak orang-orang Quraisy melakukan gangguannya dan melancarkan peperangan, Utbah selalu membawa panah dan tombaknya. Ia melemparkan tombaknya dengan ketepatan yang luar biasa, dan bersama-sama kawan-kawannya orang­orang Mu’minin lainnya digunakannya panah untuk menghancur­kan alam hidup dan berfikir usang dengan segala berhala dan kebohongannya.Di waktu Rasul yang mulia wafat menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi ia belum lagi hendak meletakkan senjatanya bahkan selalu berkelana berperang di muka bumi. Dan ketika berhadapan dengan tentara Persi ia melakukan perjuangan yang tak ada taranya . . . .

Amirul Mu’minin Umar mengirimkannya ke Ubullah untuk membebaskan negeri itu dan membersihkan buminya dari orang­orang Persi yang menjadikannya sebagai batu loncatan untuk menghancurkan kekuatan Islam yang sedang maju melintas wilayah-wilayah kerajaan Persi serta untuk membebaskan negeri Allah dan hamba-Nya dari cengkraman penjajahan mereka …. Dan berkatalah Umar kepadanya sewaktu melepaskan bersama tentaranya:“Berjalanlah anda bersama anak buah anda, hingga sampai batas terjauh dari negeri Arab, dan batas terdekat negeri Persi
Pergilah dengan restu Allah dan berkah-Nya . . . ! 
Serulah ke jalan Allah siapa yang mau dan bersedia … !

Dan siapa yang menolak hendaklah ia membayar pajakDan bagi setiap penantang, maka pedang bagiannya, tanpa pilih bulu …Tabahlah menghadapi musuh serta taqwalah kepada Allah Tuhanmu … !”Pergilah Utbah memimpin pasukannya yang tidak seberapa besar itu hingga sampai ke Ubullah . . . Ketika itu orang-orang Persi telah menyiapkan bala tentara mereka yang terkuat. Utbah pun menyusun kekuatannya dan berdiri di muka pasukannya sambil membawa tombak di tangannya yang belum pernah meleset dari sasarannya semenjak ia berkenalan dengan tombak. 

Ia berseru di tengah-tengah tentaranya: — 
“Allahu Akhbar, sha­daqa wadah “, artinya “Allah Maha Besar, la menepati janjiNya.

Dan seolah-olah ia dapat membaca apa yang akan terjadi, karena tak lama setelah terjadi pertempuran kecil-kecilan,Ubul­lah pun menyerahlah dan daerahnya dibersihkan dari tentara Persi, dan penduduknya terbebas dari kekejaman selama ini, yang mereka rasakan tak ubah dengan mereka..dan benarlah Allah yang Maha Besar itu telah menepati janji-Nya … !Di tempat berdirinya Ubullah itu, Utbah membangun kota Basrah dengan dilengkapi sarana perkotaan termasuk sebuah mesjid besar...Dan sekarang ia bermaksud meninggalkan negeri itu dan kembali ke Madinah, menjauhkan diri dari urusan pemerintahan, tapi Amirul Mu’minin Umar keberatan dan menyuruhnya tetap di sana.Utbah pun memenuhi keinginan khalifah, membimbing rakyat melaksanakan shalat,’ memberi pengertian dalam soal Agama, menegakkan hukum dengan adil, serta memberi contoh teladan yang sangat mengagumkan tentang kezuhudan, wara dan kesederhanaan ….Dengan tekun dikikisnya kemewahan dan sikap berlebih­-lebihan sekuat dayanya, sehingga menjengkelkan mereka yang dipengaruhi oleh ni’mat kesenangan dan hawa nafsu …. 

Pada suatu hari Utbah pun berdiri berpidato di tengah-tengah mereka, katanya:  ”Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah saw. sebagai salah seorang kelom­pok tujuh, yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian dalam mulut kami pecah-pecah dan luka-luka! 

Di suatu hari aku beroleh rizqi sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang sebelah kuberikan kepada Sa'ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku …Utbah sangat menakuti dunia yang akan merusak Agamanya.

Dan dia menakuti hal yang serupa terhadap Kaum Muslimin. 

Karena itu ia selalu membimbing mereka atas kesederhanaan dan hidup bersahaja. Banyak orang yang mencoba hendak merubah pendiriannya dan membangkitkan dalam jiwanya kesadaran sebagai penguasa, Serta hak-haknya sebagai seorang penguasa, terutama di negeri-negeri yang raja-rajanya belum terbiasa dengan zuhud dan hidup sederhana sementara penduduknya menghargai tanda-tanda lahiriah yang berlebihan dan gemerlapan.Ter­hadap hal-hal ini Utbah menjawabnya dengan katanya:  ”Aku berlindung diri kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku karena kemewahan dunia, tetapi kecil pada sisi Allah. .. !”Dan tatkala dilihatnya rasa keberatan pada wajah-wajah orang banyak karena sikap kerasnya membawa mereka kepada kewajaran dan hidup sederhana, berkatalah ia kepada mereka:  ”Besok lusa akan kalian lihat pimpinan pemerintahan dipegang orang lain menggantikan daku … !”Dan datanglah musim haji, diwakilkannya pemerintahan Basrah kepada salah seorang temannya, dan ia pun pergilah menunaikan ibadah haji. Sewaktu ia telah selesai menunaikan ibadahnya berangkatlah ia ke Madinah.

Di sana ia memohon kepada Amirul Mu’minin agar diperkenankan mengundurkan diri dari pemerintahanTetapi Umar tiada hendak menyia-nyiakan corak kepribadian dari orang-orang zuhud seperti ini yang menjauhkan diri dari barang yang amat didambakan dan menjadi incaran orang-orang lain. 
Pernah beliau berkata kepada mereka: 
 “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku . !
 Kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang diri . . . ?
 Tidak, demi Allah tidak kuidzinkan untuk selama-lamanya …

Dan demikianlah pula yang diucapkannya kepada Utbah bin Ghazwan . . . . 

Dan karenanya mau tak mau Utbah harus patuh dan taat, maka ia pergi menuju kendaraannya, hendak menungganginya kembali ke Basrah.Tetapi sebelum naik ke atas kendaraan itu, ia menghadap ke arah kiblat, lalu mengangkat kedua telapak tangannya yang lemah lunglai itu ke langit sambil, memohon kepada Tuhannya azza wajalla, agar ia tidak dikembalikan-Nya ke Basrah dan tidak pula kepada pimpinan pemerintahan untuk selama-lamanya…. Dan doanya pun diperkenankan Tuhannya . . . . Selagi ia dalam perjalanan ke wilayah pernerintahannya, maut dating menjemputnya . . . . 

Ruhnya naik ke pangkuan Penciptanya, bersukacita dengan pengurbanan dan darma baktinya, kezuhudan dan kesahajaannya Begitupun karena nikmat yang telah di sempurnakan-Nya dan oleh karena pahala yang telah disediakan untuk dirinya ….

(37)  
`UTBAH IBN GHAZWAAN 
Tomorrow You'll See the Nature of the Rulers after Me.  
   
  
        Among the foremost Muslims and the first Muhaajiruun to Abyssinia and then Al-Madiinah, among the extraordinary fighters who proved themselves brave in the cause of Allah was this towering, bright- faced, and humble-hearted man, Utbah lbn Ghazwaan. He was among the first seven who embraced Islam and extended their right hands to the right hand of the Messenger of Allah (PBUH). They pledged themselves to him while challenging the Quraish with all their fortitude and power for revenge. In the first days of the mission, the days of difficulty and terror, `Utbah Ibn Ghazwaan, together with his brothers, stood bravely, which turned out later to be the very provision that nourished the human conscience and made it grow in the course of time.  

       When the Messenger of Allah (PBUH) ordered his Companions to emigrate to Abyssinia, `Utbah went with them, but his yearning for the Prophet (PBUH) did not allow him to settle there. Soon he hurried back to Makkah where he stayed near the Messenger until it was time for the Hijrah to Al- Madiinah. So, `Utbah emigrated again with the Muslims.  

       After the Quraish started their provocations and wars, `Utbah was always carrying his lance and bow, using them expertly and contributing with his believing brothers to the destruction of the old world, including all its idols and lies. He did not, however, put his weapons down after the noble Messenger had died, but kept fighting. His jihaad against the Persian armies was great.  

        The Commander of the Faithful `Umar Ibn Al-Khattaab sent him to conquer Al-Abullah and purify its land of the Persians who regarded it as a dangerous zone of action from which to launch out at the Muslim troops that would be marching across the land of the Persian Empire, trying to save the countries and slaves of Allah. While `Umar was bidding him and his army farewell, he said, "Proceed on your way until you reach the remotest Arab country and the nearest foreign country. Go, and may Allah bless you. Invite to Allah whoever answers you, and impose jizyaad upon whoever refuses or else use your sword without mercy. Wear the enemy down, and fear Allah your Lord."  

       Utbah advanced, heading an army that was not big until they reached Al-Abullah, where the Persians were massing one of their strongest armies. `Utbah organized his troops and stood at the front carrying his lance that never missed its target. He called out his soldiers, "Allahu akbar (Allah is the Greatest), and Allah will fulfill His Promise," as if he were reading something invisible. It was no more than blessed patrols before Al-Abullah surrendered. Its land was purified of the Persian soldiers, its people were liberated from the tyranny that had often tormented them, and the Great Allah had fulfilled His promise.  

        In the same place as Al-Abullah, `Utbah planned the city of Al Basrah, constructed it, and built its great mosque. When he wanted to leave the city and return to Al-Madiinah, escaping from the responsibilities of rule, the Commander of the Faithful ordered him to stay. `Utbah stayed in his place leading people in prayer, instructing them in religion, judging between them with justice, and giving them the most wonderful example in asceticism, piety, and simplicity. He fiercely fought the extravagance and luxury of those who liked comforts and desires.  

        One day he made a speech addressing them. He said. "By Allah, I was the seventh of the first seven with the Messenger of Allah (PBUH), eating nothing but leaves of trees until the corners of our mouths were sore. I was given a garment. I cut it into two halves and gave one half to Sa'd lbn Maalik and I wore the other half."   `Utbah used to fear the extravagance of the world, and in order to protect his religion and the Muslims, he tried to persuade them to practice asceticism and moderation. Many people tried to turn him from his way, to arouse a sense of ruling in his soul, and draw his attention to the right of ruling, especially in those countries that were never accustomed to such type of ascetic rulers and whose people used to respect high-ranking supercilious appearances. But `Utbah used to answer them saying: "I seek refuge in Allah from being great in your world and small in the sight of Allah." When he found people bored with his austerity he induced them to be earnest and modest saying, tomorrow you'll see the rulers after me."  

   When it was the Hajj season, he appointed one of his brothers as successor and went to make the Hajj. When he finished, he traveled to Al-Madiinah and asked the Commander of the Faithful to discharge him from the rule. But `Umar would not lose the reverent ascetic who fled from what the mouths of mankind watered for. He used to say to them, "You burden me with your trusts and leave me alone? No, by Allah, I'll never discharge you." And that was what he said to `Utbah Ibn Ghazwaan.  

        As `Utbah could do nothing but obey, he took his camel and rode it back to Al-Basrah. But before he mounted it he turned to the Qiblah and raised his imploring hands to heaven and invoked Almighty Allah not to return him to Al-Basrah or to government rule again. His invocation was answered, for while he was on his way to this rule, he died. His spirit was given up to its Creator. It was happy with what it had exerted and given, with its asceticism and continence, with the favor that Allah had completed upon it, and with the reward that Allah had prepared for it.


.¤ª"˜¨¯¨¨Uthbah Bin Ghazwan oo 'Utbah Ibn Ghazwaan¸,ø¨¨"ª¤.