acebook

Para Sahabat - The Companions
.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Darda oAbu Ad-Dardaa'¸,ø¨¨"ª¤.  
 Seorang budiman dan ahli hikmat yang luar biasa. 


Selagi balatentara Islam berperang kalah menang di beberapa penjuru bumi, sementara itu di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmat dan filosof yang mengagumkan, yang dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.

la senantiasa mengucapkan kata-kata kepada masyarakat sekelilingnya, : “Maukah anda sekalian, aku kabarkan amalan­-amalan yang terbaik, amalan yang terbersih di siai Allah dan paling meninggikan derajat anda, lebih baik daripada memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang leher anda, dan malah lebih baik dari uang mas dan Perak. . . ?”

Para pendengarnya sama menjulurkan kepala mereka ke muka karena ingin tahu, lalu segera menanyakan: “Apakah itu wahai Abu Darda’ . . . ?” Abu Darda’ memulai bicaran‘ya dengan wajah berseri-seri, di bawah cahaya iman dan hikmat, lalu men­jawab: “‘Dzikrullah .. .. ” 
— menyebut Serta mengingat nama. Allah —
 “Wa-ladzikrullahi akbar” 
— dan sesungguhnya dzikir kepada Allah itu lebih utama —.

Bukanlah maksud ahli hikmat yang mengagumkan ini meng­anjurkan orang menganut filsafat memencilkan diri, dan bukan Pula dengan kata-katanya itu ia menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak Pula agar mengabaikan hasil Agama yang baru ini, yakni hasil yang telah dicapai dengan jihad atau kerja mati­-matian.

Benar . . . , Abu Darda’ bukanlah tipe orang yang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan Agama ber­sama Rasulullah saw. sampai datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Mekah … Tetapi ia adalah dari golongan orang yang setiap merenung dan menyendiri, atau bersamadi di relung hikmah, dan mem­baktikan hidupnya untuk mencari hakikat dan keyakinan, menemukan dirinya dalam suatu wujud yang padu, penuh dengan sari hayat dan gairah kehidupan ….

Dan Abu Darda’ r.a. ahli hikmat yang besar di zamannya itu, adalah seorang insan yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat sangat untuk melihat hakikat dan menemukan­nya….

Dan karena ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh, maka ia merasa yakin dan percaya pula bahwa iman ini dengan segala tindak lanjutnya berupa kewajiban dan pengertian, merupakan jalan yang utama dan satu-satunya untuk mencapai hakikat itu ….

Demikianlah ia tetap berpegang dan secara bulat menyerah­kan dirinya kepada Allah, dan dengan teguh hati, dengan petun­juk dan kebesaran ditempanya kehidupannya sesuai dengan cetakan dan patokannya. la terus menelusuri jejak hingga akhirnya menemukannya . . .. dan berada di atas jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh . . . . dan menempati kedudukan yang tinggi beserta orang-orang yang benar secara sempurna, yakni di saat ia menyeru Tuhannya dengan membaca ayat-Nya:

“Sesungguhnya shalatku dan ibadatku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah semata, Tuhan alam semesta . . . . “• 
(Q.S. 6 al-An’am: 162)

Abu Darda’ dalam melawan hawa nafsu dan mengekang dirinya untuk memperoleh mutiara bathin yang sempurna telah mencapai tingkatan yang tertinggi . . . tingkatan tafani rabbani — memusatkan fikiran, perhatian dan amaliahnya kepada pengabdian — menjadikan seluruh kehidupannya semata bagi Allah Rabbul ‘alamin ….

Dan sekarang marilah kita mendekati ahli hikmat dan orang suci itu! Tidakkah anda perhatikan sinar yang bercahaya-cahaya di sekeliling keningnya . . . ? Dan tidakkah anda mencium bau yang semerbak yang bertiup dari arahnya . . . ? Itulah dia cahaya hikmat dan harumnya iman . . . !

Dan sesungguhnya iman dan hikmat telah bertemu pada laki-laki yang rindu kepada Tuhannya ini, suatu pertemuan bahagia, kebahagiaan tiada taranya … !!

Pernah ibunya ditanyai orang, tentang amal yang sangat diaenangi Abu Darda’, lalu dijawabnya: “Tafakkur dan meng­ambit i’tibar atau pelajaran!”

Sungguh benar, ia telah meresapi dengan sempurna firman Allah di dalam ayat-ayatnya yang tidak sedikit:
“Hendaklah kamu mengambil ibarat … pelajaran, per­bandingan dan sebagainya …wahai orang-orang yang mempunyai fikiran!” 
(Q.S. 59 al-Hasyr: 2)

la selalu mendorong kawan-kawannya untuk merenung dart memikir-mikirkan, katanya kepada mereka: “Berfikir… tafakkur … satu jam, lebih baik daripada beribadat satu malam … ! ” Dan sesungguhnya beribadat dan Serta tafakkur dan mencari hakikat telah menguasai seluruh dirinya dan seluruh kehidupannya.

Di saat Abu Darda’ rela mengambil Islam sebagai Agamanya, dan ia bai’at kepada Rasulullah saw. akan melaksanakan Agama yang mulia ini, pada waktu itu ia adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara saudagar-saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam dunia perniagaan, bahkan sampai saat Rasulullah dan Kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama kemudian setelah ia masuk Islam, dan Islam menjadi arah hidupnya ….

Marilah kita dengarkan saat ia sendiri menceriterakan riwayat itu kepada kita: “Aku mengIslamkan diriku kepada Nabi saw. sewaktu aku menjadi saudagar . .  . Keinginanku agar ibadat dan perniagaanku dapat berhimpun pada diriku jadi satu, tetapi hal itu tidak berhasil …. Lalu aku kesampingkan perniagaan, dan menghadapkan diri kepada ibadat . . . . Dan aku tidak akan merasa gembira sedikit pun jika sekarang aku berjual beli dan beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di muka pintu mesjid … !

Perhatikan, aku tidak menyatakan kepada kalian, bahwa Allah mengharamkan jual beli . . .. Hanya aku pribadi lebih menyukai agar aku termasuk ke dalam golongan orang yang perniagaan dan jual beli itu tidak melalatkannya daripada dzikir kepada Allah Apakah anda perhatikan kalimat-kalimat yang berisikan hikmat dan bersumberkan kejujuran . . . ?, ucap­annya yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya … ? Ia telah menerangkan sesuatu sebelum kita sempat menanyakan kepadanya, “Apakah Allah mengharamkan niaga wahai Abu Darda’…?”

Uraiannya itu melenyapkan kesangsian yang ada dalam fikiran kita. Diiayaratkannya kepada kita tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapainya, menyebabkannya ia meninggalkan dagang sekalipun ia berhasil dalam hal ini. Ia sebenarnya mencari keistimewaan ruhani dan keunggulan yang menuju derajat kesempurnaan tertinggi yang dapat tercapai oleh anak manusia . . . . Ia menghendaki agar ibadat itu laksana tangga yang akan mengangkatnya ke alam kebaikan yang tinggi, hingga ia dapat menengok yang haq dalam kebesarannya, dan hakikat pada sumbernya. Seandainya yang dikehendaki hanyalah semata-mata ditunaikannya perintah dan ditinggalkannya larangan, niscaya ia sanggup menghimpun antaranya dengan dagang dan usaha­-usahanya yang lain …. Berapa banyaknya para pedagang yang shaleh, atau sebaliknya orang shaleh yang jadi pedagang ….

Dan sesungguhnya banyak terdapat di antara shahabat­-shahabat Rasulullah saw. orang-orang yang perniagaan dan jual belinya tak melalatkan mereka dari mengingat Allah .. . bahkan mereka giat mengembangkan perniagaan dan hartanya untuk dibaktikannya kepada tujuan Islam dan mencukupi kepentingan Muslimin . – - – Akan tetapi jalan yang ditempuh para shahabat yang lain itu tidak mengurangkan arti jalan hidup Abu Darda’, dan sebaliknya jalan yang ditempuhnya tidak pula mengurangkan ma’na jalan mereka, maka setiap orang dimudah­kan Allah untuk mengikuti jalan hidup yang telah ditetapkan bagi masing masing …

Abu Darda’ merasakan sendiri dengan sebenar-benarnya bahwa ia diciptakan bagi sesuatu yang memang sedang hendak dicapainya itu, yaitu mengkhususkan diri mencari hakikat dengan mengalami dan melalui latihan-latihan berat dalam menjauhi kesenangan dunia sesuai dengan keimanan yang dipimpinkan Allah kepadanya, digariskan Rasul dan Agama Islam.

Jika anda suka, sebutlah itu tashawwuf ….

Akan tetapi itu adalah tashawwuf seorang laki-laki yang telah melengkapi kecerdasan seorang mu’min, kemampuan filosof, dan pengalaman seorang pejuang serta yang menjadikan tashawwufnya suatu gerakan lincah membina ruhani, bukan hanya sekedar bayang-bayang yang baik dari bangunan ini. Benar . . . itulah ia Abu Darda’, shahabat Rasulullah saw. dan murid­nya! Itulah ia Abu Darda’ seorang suci dan ahli hikmat … se­orang laki-laki yang telah menolak dunia dengan kedua telapak tangannya dan melindunginya dengan dadanya ….

Seorang laki-laki yang mengasah jiwa dan mensucikannya, sehingga menjadi cermin yang memantulkan hikmat, kebenaran dan kebaikan, yang menjadikan Abu Darda’ sebagai seorang maka guru dan ahli hikmat yang lurus. Berbahagialah mereka yang datang menemuinya dan sedia mendengarkan ajarannya. Ayohlah, mari kita mendekatkan diri kepada hikmat­nya, wahai orang yang mempunyai fikiran ….

Kita mulai dengan filsafatnya terhadap dunia, terhadap kesenangan dan kemewahan …. Ia amat terkesan sekali sampai ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat al-Quran yang berisi bantahan terhadap: 
“Orang yang menguinpul-ngumpul harta dan menghitung­hitungnya …. diaangkanya hartanya dapat mengekalkannya  ( Al humazah 2 – 3)

Dan ia sangat terkesan pula sampai lubuk hatinya akan sabda Rasul:
“Yang sedikit mencukupi, lebih baik dari yang banyak membawa rugi… “.
Dan bersabda Rasulullah saw.:

“Lepaskanlah dirimu dari keserakahan akan dunia sekuasa kamu, sebab siapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan miliknya yang telah ter­kumpul, lalu dijadikannya kemiskinan dalam pandangan matanya. Dan siapa yang menjadikan akhirat tujuan dan cita-citanya, Allah akan menghimpunkan miliknya yang bercerai-berai, lalu dijadikan-Nya kekayaan dalam hatinya, dan dimudahkannya mendapatkan segala kebaikan “. (H.R. Thabarani Mu’jam al-Kabir)

Oleh karena itulah ia menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan dan berkata: “0 Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang… !” 
Ditanya orang: ‘Dan apakah pula hati yang bercabang-cabang itu wahai Abu Darda’. . – ?”
Dijawabnya: “Memiliki harta benda di setiap lembah … Dan ia menghimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat kepadanya . . . . Itulah cara pemilikan yang hakiki! Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah tak akan pernah ada kesudahannya, maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak perhambaan diri, dan perbudakan! Ketika itu ia berkata pula:
“Barang siapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya …!”
Harta baginya hanya sebagai alat bagi kehidupan yang ber­sahaja dan sederhana, tidak lebih. Bertolak dari sana, maka menjadi kewajibanlah bagi manusia mengusahakannya dari yang halal dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, tidak dengan kerakusan dan mati-matian.
Maka katanya pula:
“Jangan engkau makan, kecuali yang baik …. Jangan engkau usahakan, kecuali yang baik . . . , dan jangan engkau masukkan ke rumahmu, kecuali Yang baik … !”

Pernah ia menyurati shahabatnya dengan kata-kata sebagai berikut:
“Arkian ….. tidak satu pun harta kekayaan dunia yang kamu miliki, melainkan sudah ada orang lain memilikinya sebelum kamu . . . dan akan ada terus orang lain memilikinya sesudah kamu! Sebenarnya yang kamu miliki dari dunia, hanyalah sekedar yang telah kamu manfaatkan untuk dirimu …. Maka utamakanlah diri itu dari orang yang untuknya kamu kumpulkan harta itu yaitu anak-anakmu yang bakal mewariaimu.

Karena dalam mengumpul-ngumpul harta itu kamu akan memberikan­nya kepada salah satu di antara dua: Adakalanya kepada anak yang shaleh yang beramal dengannya guna mentaati Allah, maka ia berbahagia atas segala penderitaanmu .. .. Dan ada­kalanya pula kepada anak durhaka yang mempergunakan untuk maksiat, maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah kamu kumpulkan untuknya itu …. Maka percayakanlah nasib mereka kepada rizqi yang ada pada Allah, dan selamatkanlah dirimu sendiri … !”

Menurut pandangan Abu Darda’, dunia seluruhnya hanya sernata-mata titipan. Sewaktu Ciprus ditaklukkan, dan harta rampasan perang dibawa ke Madinah, orang melihat Abu Darda’ menangis . . . . Mereka dengan terharu mendekatinya dan mereka meminta Jubair bin Nafir untuk menanyainya:
“Wahai Abu Darda’, apakah sebabnya anda menangis pada saat Islam telah dimenangkan Allah bersama ahlinya … ! Pertanyaan tersebut dijawab oleh Abu Darda’ dengan suatu untaian kata yang sangat berharga dan pengertian yang mendalam: “Aduh …. wahai Jubair! Alangkah hinanya makhluq di siai Allah, bila mereka meninggalkan kewajiban­nya terhadap Allah …. Selagi ia sebagai suatu ummat yang perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu mereka tinggal­kan amanat Allah, maka jadilah mereka seperti yang engkau lihat… !”

Benarlah demikian … Menurut Abu Darda’, keruntuhan cepat yang dijumpai bala­tentara Islam pada negeri-negeri yang dibebaskan, sebabnya ialah karena negeri-negeri tersebut kehilangan pegangan ruhani yang benar yang melindunginya dan Agama yang betul yang menghubungkannya dengan Allah.

Dan karena itu pula ia mengkhawatirkan keadaan Kaum Muslimin di seat ikatan iman mereka mengendor, hubungan mereka dengan Allah menjadi lemah, dengan yang haq dan dengan kebaikan, maka berpindahlah titipan itu dari tangan mereka dengan mudah sebagaimana dulu berpindah kepada mereka dengan mudah pula …. Sebagaimana menurut keyakinannya dulu dunia seluruhnya hanya semata-mata pinjaman, begitu juga ia menjadi jembatan untuk menyeberang kepada kehidupan yang abadi dan lebih mengasyikkan ….

Pada suatu kali para shahabatnya menjenguknya sewaktu ia sedang sakit, mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit . . . . Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk …. Tawaran ini dijawabnya sambil memberi iayarat dengan telunjuknya, sedang kedua matanya yang bercahaya-cahaya menatap jauh ke depan: “Kampung kita nun jauh di sana . . . untuknya kita mengumpulkan bekal, dan ke sana kita akan kembali . . . kita akan berangkat kepadanya . . . dan beramal untuk bekal di sana … !”

Pandangan terhadap nilai dunia ini bagi Abu Darda’ bukan hanya sekedar arah pandangan saja, tetapi lebih dari itu ia me­rupakan suatu jalan hidup . . . ! Yazid bin Mu’awiyah putera Khalifah pernah melamar anaknya dan ditolaknya. Ia tidak hendak menerima lamaran tersebut. Kemudian ia dilamar oleh salah seorang Muslim yang shaleh tetapi miakin, maka puterinya itu dinikahkannya kepadanya. Orang-orang pada tercengang dengan tindakannya itu. Abu Darda’ memberitahu mereka alasan-alasannya, katanya: “Bagaimana kiranya nanti dengan si Darda’ bila ia telah dikelilingi para pelayan dan inang pengasuh dan terpedaya oleh kemewahan istana . . . di mana letak agamanya waktu itu…?” Ia seorang yang bijaksana berjiwa lurus dengan hati yang mulia. Semua kesenangan harta benda dunia yang sangat diingini nafsunya dan didambakan kalbunya, dituduhkan . . . . Dengan sifat ini, berarti ia bukan lari dari kebahagiaan, malah sebalik­nya. Maka kebahagiaan sejati baginya, ialah menguasai dunia, bukan dikuasai dunia. Bilamana manusia hidup dalam batas bersahaja dan sederhana, dan bilamana mereka telah meng­gunakan hakikat dunia hanya sebagai jembatan yang menye­berangkannya ke kampung halaman yang tetap dan abadi, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan sejati yakni kebahagiaan yang lebih sempurna dan lebih agung ….

Ia juga berkata: “Kebaikan bukanlah karena banyak harta dan anak-pinakmu tetapi kebaikan yang sesungguhnya ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin Sertambah banyak ilmu­mu, dan kamu berpacu menandingi manusia dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala!”

Pada masa Khalifah Utsman r.a. Muawiyah menjadi gubernur di Syria, dan Abu Darda’ menjabat hakim atas kehendak Kha­lifah. Di sanalah, di Syria ia menjadi tonggak penegak yang mengingatkan orang akan jalan yang ditempuh Rasulullah dalam hidupnya, zuhudnya, dan jalan hidup para pelopor Islam yang pertama dari golongan syuhada dan shiddiqin. Negeri Syria waktu itu adalah negeri yang makmur penuh dengan nikmat dan ke­mewahan hidup. Penduduk yang mabuk dengan kesenangan dunia dan tenggelam dalam kemewahan ini, seolah-olah merasa dibatasi dengan peringatan dan nasihat Abu Darda’ . . . Abu Darda’ mengumpulkan mereka dan berdiri berpidato di hadapan mereka, demikian katanya:
“Wahai penduduk Syria ….
Kalian adalah saudara seagama, tetangga dalam rumah tangga, dan pembela melawan musuh bersama ….
Tetapi saya merasa heran melihat kalian semua, kenapa kalian tak punya rasa malu?
Kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan.
Kalian bangun semua yang tidak akan kalian diami.
Kalian harapkan apa yang tidak akan kalian capai.
Beberapa kurun waktu sebelum kalian, mereka pun mengum­pulkan dan menyimpannya ….
Mereka mengangan-angankan, lalu mereka berkepanjangan dengan angan-angannya ….
Mereka membina, lalu mereka teguhkan bangunanya . . . . Tetapi akhirnya semua itu jadi binasa ….
Angan-angan mereka jadi fatamorgana ….
Dan rumah-rumah mereka jadi kuburan belaka ….
Mereka itu ialah kaum ‘Ad, yang memenuhi daerah antara Aden dan Oman dengan anak-pinak dan harta benda … !”

Kemudian terbayang di antara kedua bibirnya suatu senyum­an lebar yang mengejek, ia melambaikan tangannya kepada khalayak yang penuh berdesakan dan dengan kelakar sinis yang menusuk ia pun berteriak: “Ayo, siapa yang mau membeli harta peninggalan kaum ‘Ad daripadaku dengan harga dua dirham … ?”

Seorang pria yang berwibawa, anggun, dan menyinarkan cahaya, hikmatnya meyakinkan, sikap tingkah wara, logikanya benar dan cerdas … ! Ibadat menurut Abu Darda’ bukan sekedar formalitas dan ikut-ikutan; sebenarnya adalah suatu ikhtiar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan rahmat dan ridla Allah, senantiasa rendah hati, dan mengingatkan manusia akan kelemahannya serta kelebihan Tuhan atasnya. Ia pun berkata:
“Carilah kebaikan sepanjang hidupmu . . . dan majulah mencari embusan karunia Allah, sebab sesungguhnya Allah mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya …!”
Mohonlah kepada Allah agar Ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu serta menghilangkan rasa ketidak tentraman­mu … !”

Ahli hikmat ini matanya selalu terbuka meneliti dan me­neropong ibadat imitasi diingatkannya setiap orang akan kepalsuannya. Kepalsuan inilah yang banyak menimpa sebagian besar orang-orang yang berwatak lemah dalam iman mereka, rnereka ‘ujub atau membanggakan diri dengan ibadat mereka, lalu mereka merasa dirinya lebih dari orang lain dan menyom­bong . . . . Marilah Kita simakkan lagi apa katanya: “Kebaikan sebesar atom (dzarrah) dari orang yang taqwa dan yakin, lebih berat dan lebih bernilai daripada ibadatnya seumpama gunung orang-orang yang menipu diri sendiri. . .

Ia berkata lagi: “Jangan kalian bebani orang dengan yang tidak sanggup dipikulnya . .. dan jangan kalian menghisab mereka dengan mengambil alih pekerjaan Tuhannya … ! Jagalah diri kalian sendiri, sebab siapa yang selalu mengingini apa yang di­punyai orang lain, niscaya akan berkepanjangan nestapa­nya … ! “

Ia tidak menghendaki seseorang ‘abid atau ahli ibadat bagai­mana juga tinggi pengabdiannya, mengaku dirinyalah secara mutlaq lebih sempurna dari hamba-hamba Allah yang lain. Sewajarnya ia memuji syukur kepada Allah atas taufiq-Nya, dan menolong mendu’akan orang lain yang belum mendapatkan taufiq itu dengan ketinggian ibadat dan keikhlasan niatnya.

Nah, pernahkah anda mengenai hikmah yang daya sorot dan daya sinarnya melebihi hikmah budiman ini … ?

Seorang shahabatnya bernama Abu Qalabah berceritera sebagai berikut: “Suatu hari Abu Darda’ melihat orang-orang sedang mencaci-maki seseorang yang terperosok pada perbuatan dosa, ia berseru: “Bagaimana pendapat kalian bila menemukan­nya terperosok ke dalam lobang . . . ? bukankah seharusnya kalian berusaha menolong mengeluarkannya dari lobang tersebut … ?” Jawab mereka: “Tentu saja . . . !” Katanya: “Kalau begitu jangan kalian cela dia, tetapi hendaklah kalian memuji syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian!” Tanya mereka pula: “Apakah anda tidak membencinya Jawabnya: “Yang kubenci adalah perbuatannya, bila ditinggal­kannya maka ia adalah saudaraku …… Seandainya apa yang telah kami kemukakan di atas bagi Abu Darda’ merupakan salah satu wajah dari kedua wajah ibadah, maka wajahnya yang lain ialah ilmu dan ma’rifat ….

Sungguh, Abu Darda’ benar-benar mengkuduskan ilmu dengan setinggi-tinggi kedudukan, disucikannya selaku ia seorang budiman, dan disucikannya selaku ia seorang ‘abid. Perhatikanlah ungkapannya tentang ilmu:
“Orang tidak mungkin mencapai tingkat muttaqin, apabila tidak berilmu, apa guna ilmu, apabila tidak dibuktikan dalam, per­buatan”.

Ilmu baginya ialah: pengertian dari hasil penelitian, jalan dalam mencapai tujuan, ma’rifat untuk membuka tabir hakikat, landasan dalam berbuat dan bertindak, daya fikir dalam mencari kebenaran dan motor kehidupan yang disinari iman, dalam melaksanakan amal bakti kepada Allah ar-Rahman.

Dalam mengkuduskan ilmu seorang budiman menganggap:
“Pendidik dan penuntut ilmu sama mempunyai kedudukan yang mulia, masing-masing mempunyai kelebihan dan pa­hala. . . “

Ia melihat pula bahwa kebesaran hidup ini yang banyak sangkut pautnya dengan segala sesuatu tergantung kepada ilmu yang baik. Resapkan ucapannya ini:
“Aku tak tabu mengapa ulama kalian pergi berlalu, sedang orang-orang jahil kalian tidak mau mempelajari ilmu? Ketahuilah bahwa guru yang baik dan muridnya, serupa pahalanya …. Dan tak ada lagi kebaikan yang lebih utama dari kebaikan mereka . . . . “.

Katanya pula:
“Manusia itu tiga macam: orang yang berilmu, orang yang belajar . . . , dan yang ketiga orang yang goblok tidak mem­punyai kebaikan apa-apa. . . .”.

Dan sebagaimana telah kami jelaskan di atas, ilmu dan amal tak pernah berpisah dari hikmat Abu Darda’ r.a. Ia berkata: “Yang paling kutakutkan nanti di hari qiamat ialah bila di­tanyakan orang di muka khalayak: “Hai ‘Uwaimir, apakah eng­kau-berilmu?, maka akan kujawab: “Ada …… Lalu ditanyakan orang lagi kepadaku: “Apa saja yang engkau amalkan dengan ilmu yang ada itu?”

Ia selalu memuliakan ulama yang mengamalkan ilmunya, menghormati mereka dengan penghormatan besar, bahkan beliau berdoa kepada Tuhannya dengan katanya: “Ya. Allah, aku ber­lindung kepada-Mu dari kutukan hati ulama . . . . .. Lalu ia ditanyai: “Bagaimana dapat hati mereka mengutuki anda?” Jawabnya r.a.; “Dibencinya aku . . . !”

Adakah anda perhatikan . . . ? Bahwa ia memandang suatu laknat yang tak tertanggungkan bila terdapat kebencian orang alim kepadanya. Oleh karena itulah ia dengan rendah hati berdoa kepada Tuhannya, agar Ia melindunginya daripadanya ….

Hikmah Abu Darda’ mengajarkan berbuat baik dalam per­saudaraan dan membina hubungan manusia dengan manusia atas dasar kejadian tabiat manusia itu sendiri, maka berkatalah ia: “Cacian dari seorang saudara, lebih baik daripada kehilang­annya …. Siapakah mereka bagimu, kalau bukan saudara atau teman? Berilah saudaramu dan berlunak lembutlah kepadanya … ! Dan jangan engkau ikut-ikutan mendengki saudaramu, nanti engkau akan seperti orang itu pula . . . ! Besok engkau akan dijelang maut, maka cukuplah bagi engkau kehilangannya …. Bagaimana anda akan menangisinya sesudah mati, sedang selagi hidup tak pernah anda memenuhi haknya… !”

Pengawasan Allah terhadap hamba-Nya menjadi dasar yang kuat bagi Abu Darda’, untuk membangun hak-hak persaudaraan di atasnya. Berkatalah Abu Darda’ r.a.: “Aku benci menganiaya seseorang . . . , dan aku lebih benci lagi, jika sampai menganiaya seseorang yang tidak mampu meminta pertolongan dari aniayaanku, kecuali kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar … !”

Alangkah besar jiwamu, dan terang pancaran ruhmu, wahai Abu Darda’! Ia selalu memberi peringatan keras terhadap masyarakat dari fikiran keliru yang menyangka bahwa kaum lemah mudah saja mereka perlakukan sewenang-wenang dengan menyalah. gunakan kekuasaan dan kekuatan. Diperingatkannya, bahwa di dalam kelemahan orang-orang itu, terdapat kekuatan yang ampuh, yakni jeritan hati dan memohon kepada Allah karena kelemahan mereka, lalu menyerahkan nasib mereka ke hadapan­Nya atas perlakuan orang yang menindasnya itu ….

Nah inilah dia Abu Darda’ yang budiman itu. Inilah dia.

Abu Darda’ yang zuhud, ahli ibadah dan yang selalu merindukan kembali hendak bertemu dengan Tuhannya . . . . Inilah dia., ‘Abu Darda’, yang bila orang terpesona oleh ketaqwaannya, lalu mereka meminta du’a restunya, dijawabnya dengan kerendahan’ hati yang teguh, katanya:
“Aku bukan ahli berenang . . . . hingga aku takut akan teng­gelam. . . .”.

Demikianlah Abu Darda’ benarlah ia tak pandai bere­nang? Tetapi apa pula yang akan diherankan, karena bukankah ia hasil tempaan Rasulullah saw…. , murid al-Quran …. putera Islam yang pertama . . . , dan teman sejawat Abu Bakar dan Umar, Serta tokoh-tokoh utama lainnya ..

(25)  
ABU AD-DARDAA'  
What a Wise Man Was He! 

        While the armies of Islam were advancing victoriously, there lived in Al-Madiinah a wonderful philosopher and wise man whose wisdom flowed in his blooming bright words. He kept saying to those around him, "Can I tell you about the best of your deeds which are more thriving and better than invading your enemies, cutting their throats and cutting yours, and better than dirhams and dinars?" Those who listened to him craned and hurried to ask him; "And what is that, O Abu Ad-Dardaa'?" Abu Al-Dardaa' resumed his speech and his face glittered with the light of faith and wisdom, "The remembrance of Allah; the remembrance of Allah is the greatest thing in life."  

        That wonderful wise man was not preaching an isolationist philosophy nor by his own words. He was not preaching negativism nor the retirement from the responsibilities of the new religion that considers struggle its cornerstone. Yes, Abu Ad-Dardaa' was not that kind of man, but rather he was the man who took up his sword and struggled with the Prophet of Allah (PBUH) since he had embraced Islam till the help and victory of Allah came.  
        
 However, he was that type who finds himself in his full lively existence whenever he is alone contemplating under shelter of the sanctuary of wisdom, and he dedicated his life to seeking truth and certitude. Abu Ad-Dardaa', the wise man of those great days (May Allah be pleased with him) was a person who looked forward to His Prophet (PBUH), and he also believed that this faith, with its duties and understanding, was the only ideal way to truth.  

       Thus, he was engrossed with his faith, dedicating himself to it and forming his life strictly, wisely, and seriously according to it. He walked on that path till he arrived at the truth and took his high position among the truthful ones when communing with his Lord and reciting this verse: "Truly, my prayer and 
my devotion, my life and my death are all for GOD, the Lord of the Worlds" (6 :162).  

       Yes, the struggle of Abu Ad-Dardaa against and with himself ended in the attainment of this high spiritual position, remote superiority, and personal sacrifice which made him dedicate all his life to Allah, the Cherisher of the Worlds.  

        Now, let us approach the saint and wise man. Do you observe the light that radiates round his forehead? Do you smell the good perfume coming from his direction? It is the light of wisdom and the perfume of faith. Faith and wisdom have come together happily in this man. His mother was asked about what he liked best; she answered, "Contemplation and consideration." This is completely in accord with the saying of Allah in more than one verse  
"Therefore take warning, you, who have eyes to see! " (59 : 2).  

        When he urged his brothers to contemplate and think, he said to them, "Contemplation for an hour is better than worshipping for the whole night." Worshipping and contemplation and seeking after truth overpowered him and all his life.  

        On the day he embraced Islam and pledged his allegiance to the Prophet (PBUH) in this glorious religion, he was a successful trader of Al-Madiinah. He spent a part of his life in trade before he embraced Islam and before the Prophet (PBUH) and the Muslims migrated to Al-Madiinah.  

He had just embraced Islam a short time before when ... But, let him complete the speech for us: I embraced Islam at the hands of the Prophet (PBUH) and I was a trader. I wanted to combine trade and worship, but they would never go together. I abandoned trade and retained worship. Today, it doesn't please me to sell and buy to earn 300 dinars a day, although my shop is at the door of the mosque. I can't say that Allah forbids selling, but I'd like to be of those whom neither traffic nor merchandise can divert from remembrance of Allah.  

        Do you see how he speaks completely and correctly, while wisdom and truth shine through his words. He hurries before we ask him, "Does Allah forbid trade, O Abu Ad-Dardaa'?" He hurries to sweep away this question from our minds and refers us to the superior goal that he was seeking and for which he left trade, in spite of his success as a trader. He was a man searching for spiritual excellence and superiority and looking for the maximum degree of perfection available to human beings. He wanted worship as a ladder that raises him to the highest level of goodness and approaches right in its glory and truth in its shining origin. If he wanted worship to be merely duties to be done and prohibition to be left, he could manage both his worship and his trade and deeds.  
   
     There are many good traders, and there are many good and pious persons working in trade. Among the Companions of the Prophet of Allah (PBUH), there were men whom neither traffic nor merchandise could divert from the remembrance of Allah. But they worked hard to develop their trade and their money by which they served the cause of Islam and satisfied the needs of the Muslims. But the method of those Companions does not diminish the method of Abu Ad-Dardaa', nor does his method diminish theirs, as everyone is fit for what he is created. 

        And Abu Ad-Dardaa' felt that he was created for what he devoted his life to: excellence in seeking after the truth by practicing the ultimate expression of celibacy according to the faith to which he was guided by Allah, His Prophet and Islam.  

        Call it mysticism if you wish, but it was the mysticism of a man who had plenty of them keenness of a believer, the capability of a philosopher, the experience of a fighter, and the jurisprudence of the Prophet's Companions. This made his mysticism a lively movement in establishing the soul and not merely shadows of this building.  

         Yes, that was Abu Ad-Dardaa', the Companion of the Messenger of Allah (PBUH) and his pupil. That was Abu Ad Dardaa', the saint and the wise man, a man who repelled life with both his hands, a man who secluded himself till he burnished and sanctified his soul and it became a dear mirror so that wisdom, rightness, and good reflected in it. That made Abu Ad-Dardaa' a great teacher and an upright wise man.  

        What happy persons are those who come and listen to him! Come and seek his wisdom, O people of understanding. Let us begin with his philosophy towards life and towards its delights and vanities. He was influenced to the depths of his soul by the saying of Prophet, "Little and satisfied is better than much and diverted." Allah Almighty said, " Woe to every taunting slanderer, backbiter, who piles up wealth and counts over it again and again ; thinking that his wealth will make him immortal! " (104 : 1-3).  

           The Messenger of Allah (PBUH) said, "Leave the worries of life as far as possible," and "He who makes life his only aim, Allah will sunder his unity and make poverty between his two eyes. He who makes the Hereafter his only goal, Allah makes riches in his heart and makes every good hurry to him."  

           Therefore, he lamented over those who fell captive to the ambition of wealth and said, "I seek refuge with the Lord from the dispersion of the heart." He was asked, "What is dispersion of the heart, Abu Ad-Dardaa'?" He answered, "That means I have money every where." He called people to possess life by doing without it, that is the real possessing of it. But running after its endless enticements is the worst kind of slavery. Then he said, "He who can not do without life is lifeless."  

        In his opinion, money is only a means to a mild satisfied living. Thus, people should take it legitimately (in a halaal way) and earn it kindly and mildly and not covet it greedily. He said, "Don't eat anything unless it is good, don't earn any money unless it is good, don't take anything to your house unless it is good."  

        He wrote to his companions, "After that, any temporary thing you possess in life was possessed by someone else before you, and will be owned by another after you, and you have nothing except what you offered to yourself.  

        "Give preference over yourself to him from whom you are collecting money for your sons to inherit, since you collecting money for one of the two: either a good son who spends the money in obedience to Allah, thus he will be happy with what you earned and flee from troubles; or a disobedient son who spends it in sins and disobedience to Allah, and so you will be tortured by what you had collected for him. Entrust their living to the Bounty of Allah and save yourself" 

        The whole of life from Abu Ad-Dardaa's point of view is merely a loan. When Cyprus was conquered and the booty was carried to Al Madiinah, people saw Abu Ad-Dardaa' weep. Astonished, they approached and Jubair Ibn Nufair said to him, "Why are you weeping on the day that Allah supported Islam and the Muslims?" Abu Ad Dardaa' replied with wisdom and deep understanding, "Woe to you, Jubair.' What a trifling thing creatures are if they leave the commands of Allah. It was the best nation, having dominion, but if left the commands of Allah, and therefore it came to what you see." Yes, thus he reasoned the quick collapse to the armies of Islam in the conquered countries was caused by the bankruptcy of true spiritualism that protected them and connected them with Allah. So he feared for the Muslims in the coming days when the ties of faith would decline and the bonds to Allah, truth, and goodness would languish. Consequently, the loan would be taken from their hands as easily as it bad been put in their hands before.  

        As the whole of life was merely a loan in his view, it was also a bridge to an immortal and more magnificent life.  

        Once his companions went to visit him when he was ill and found him sleeping on a piece of leather. They said to him, "If you wish, you will have better and more comfortable bedding." He replied pointing with his forefinger and looking with his bright eyes at the far distance, "Our home is there. For it, we gather and to it we return. We travel to it and we work for it."  

        This look at life was not only a point of view but also a way of life. Yaziid lbn Mu'aawiyah wanted to marry his daughter, Ad Dardaa', but he refused him and married her to a poor pious Muslim. People were greatly astonished by that behavior but Abu Ad Darda'a taught them, saying, "What about Ad- Dardaa' if she had the servants and splendors and she was dazzled by the decorations and pleasures of the palace? What then would happen to her religion?" This was a wise man of upright morals and clear heart. He refused everything that attracted the brain and fascinated the heart and by doing so he did not escape from happiness but escaped to it. Real happiness, in his belief, was to possess life, not to be possessed by it. Whenever the needs of people are limited by contentment and uprightness, they will realize the reality of life as a bridge on which they cross to the home of permanence, return, and immortality. Whenever they do so, their share of real happiness is greater and plentiful. He also said, "It is not better to have much money and many sons, but it is better to have much clemency, much knowledge, and to compete with people in the worship of Allah."  

        During the caliphate of `Uthmaan (May Allah be pleased with him), Mu'aawiyah was the governor of Syria and Abu Ad-Dardaa' agreed to occupy the position of the judge according to the caliph's desire. There in Syria, he stood strictly as an example to all those who were tempted by the pleasures of life. He began to remind them of the method of the Prophet (PBUH), his asceticism and that of the early righteous Muslims and martyrs.  

        Syria at that time was an urbanized region overflowing with the pleasures and amenities of life, and the inhabitants were greatly annoyed by that person who embittered their lives by his preaching. He gathered them and stood among them preaching, "O people of Syria, you are brothers in religion, neighbors at home, and supporters against your enemies. But, why aren't you ashamed? You earn what you don't eat, and build what you don't dwell in, and hope for what you can't achieve. The peoples before you collected cautiously, and hoped confidently, and built firmly, but their gatherings became perdition, their hope became delusion, and their homes became graves.  

        Those were the people of `Aad who filled the region from Adan to Oman with wealth and sons. Then a wide sarcastic smile would be drawn on his two lips, and be would wave his arm to the astonished multitude and cry sarcastically, "Who will buy the inheritance of `Aad people from me for two dirhams?"  

        He was a brilliant, magnificent, and luminous man. His wisdom was faithful, his feelings were pious, and his logic was perfect and cautious. In his point of view, worship was neither vanity nor pride but a request for good and exposure to the mercy of Allah and continuous supplication that reminded man of his weakness and the favor of his Lord upon him.  

        He said, "Request the good all your life, and expose yourselves to the mercy of Allah. Allah has fragrance in His mercy which He ushers upon those whom He pleases among His servants. Ask Allah to hide your defects and make your hearts steady and firm in times of trouble."  

        This wise man was always open-eyed to vanity in worship, of which he warned people. That vanity makes those who have weak faith worship proudly and boast of their worship to others. Listen to him saying, "An atom's weight of benevolence from a pious man is much better than a mountain's weight of worship from the boaster." He also said, "Don't charge people with unwanted affairs and don't call them to account as if you are their Lord. Guard your own souls. He who follows up the deeds of people will have his grief increased."  

        Abu Ad-Dardaa' did not want the worshipper, whatever rank he reaches in worship, to call people to account as if he were the Lord. He should praise Allah for His reconciliation and help by prayer, noble feelings, and good intentions for those who cannot achieve such success. Do you know any better and brighter wisdom than that of this wise man?  

        His companion Abu Qalaabah, tells us about him: One day Abu Ad-Dardaa' passed by a man who had committed a sin, and people were insulting him. He prohibited them and said, "If you found him in a ditch, would you not take him out of it?" They said, "Yes." He said to them, "Don't insult him. Praise Allah that He protected you from such an evil." They said to him, "Don't you hate him?" He said, "No, I hate his deed, and if he leaves it, he will be my brother."  

        Yes, knowledge, in his opinion, was understanding, behavior, learning, method, idea, and life. Because this sanctification is of the wise, we find him claiming that the teacher is like the student in favor, recompense, and position. He saw that the greatness of life was dependent on goodness before anything else. He said, "Why do I see your scholars going away and your ignorant people learning nothing? The teacher and the student of goodness are equal in recompense and there is goodness in the other people besides the two." He also said, "People are of three types a scholar, an educated person, and a savage."  

        As we have seen before, knowledge was not separate from following the wisdom of Abu Ad- Dardaa' (May Allah be pleased with him). He said, "The greatest fear of my soul is that it should say to me on the Day of Resurrection, in front of all the creatures, O owner, did you know? and I would reply, Yes . It will say to me, What did you do with what you knew?  

        He used to respect scholars and honor them very much. Moreover, he used to pray to Allah saying, "O Lord Almighty, I take refuge in You against the curse of the scholars' hearts.  

        It was said to him, "How could you be cursed by their hearts?" He said, "Their hearts hate me." Do you see, he believed that the scholars hate is an unbearable curse; therefore he implored Allah to grant him refuge.  

The wisdom of Abu Ad-Dardaa' (May Allah be pleased with him) recommended fraternity and established human relations on the basis of human nature itself. Thus he said, "To admonish your brother is better than to lose him. Give your brother advice and be tender with him, but do not agree with his covetousness lest you should be like him. Tomorrow death comes and you will lose him. And how can you weep over him after death when you did not give him his right while he lived?"  

       The fear of Allah in His servants is the strongest and hardest basis upon which Abu Ad-Dardaa' established the rights of fraternity. He (May Allah be pleased with him) said, "I hate to wrong anyone but I hate more and more to oppress the person who resorts to Allah, the Most High and the Most Great, for help against my injustice.  

        Abu Ad-Dardaa', what a great personality and bright soul you are! He warned people against delusion when they thought that unarmed weak people fell easy prey in their hands and power. He reminded them that those in their weakness have a destructive power when they implore Allah in their disability and offer their plea and the disgrace done to them by people.  

       This was Abu Ad-Dardaa', the wise man. He was Abu Ad- Dardaa' the hermit, the worshipper, ever seeking Allah. When people praised his piety and asked him to implore Allah for them, he replied in humility, "I can't swim well and I fear drowning."  

       All your wisdom, and you can not swim well, O Abu Ad Dardaa'? But what an astonishment, and you are nutured by the Prophet (PBUH), a student of the Qur'aan; son of early Islam, and a companion of Abu Bakr and Umar and the rest of those men!



.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Darda oAbu Ad-Dardaa'¸,ø¨¨"ª¤.  



Para Sahabat - The Companions
.¤ª"˜¨¯¨¨Umeir Bin Wahab oUmair Ibn Wahb¸,ø¨¨"ª¤.  
 Jagoan Quraisy
yang berbalik membela Islam yang gigih. 


Di perang Badar ia termasuk salah seorang pemimpin Quraisy yang menghunus pedangnya untuk menumpas Islam. la seorang yang tajam penglihatan dan teliti perhitungannya. Oleh karena itulah ia diutus kaumnya untuk menyelidiki jumlah Kaum Muslimin yang ikut pergi berperang dengan Rasul, dan untuk mengamat-amati apakah di belakang itu ada balabantuan atau yang masih bersembunyi ….

Umeir bin Wahab al-Jambi pun berangkatlah, dan dengan kudanya ia dapat mengamati sekeliling perkemahan pasukan Muslimin, kemudian kembalilah ia memberi laporan kepada kaumnya, bahwa kekuatan mereka kurang lebih tigaratus orang dan perkiraannya itu ternyata benar.

Lalu mereka menanyainya, apakah di belakang itu ada bala bantuan, yang dijawabnya: “Aku tidak melihat apa-apa lagi dibelakang mereka … tetapi wahai kaum Quraisy, terbayang di hadapanku pusara-pusara menganga yang menantikan jasad mereka . . . ! Mereka adalah kaum yang tidak mempunyai peranan dan perlindungan kecuali pedang mereka sandiri … ! Demi Allah, tidak mungkin salah seorang di antara mereka terbunuh, tanpa terbunuhnya seorang di antara kita sebagai imbalannya! Maka apabila jumlah kita yang tewas sama dengan jumlah mereka, kehidupan mane lagi yang lebih baik setelah itu…!” … ? Nah, cobalah kamu fikirkan baik-baik … 

Kata-kata dan buah fikirannya itu berkesan dan berpengaruh kepada sebagian di antara pemimpin-pemimpin Quraisy, dan hampir saja mereka menghimpun laki-laki mereka untuk kembali pulang ke Mekah tanpa perang, seandainya Abu Jahal tidak merusakkan fikiran tersebut. Dikobarkannyalah api kebencian ke dalam jiwa mereka, tegasnya api peperangan di mana ia sendiri tewas sebagai korbannya yang pertama …

Penduduk Mekah memberinya gelar dengan “Jagoan Qu­raisy”. Di perang Badar itu, benar-benar si Jagoan ini mendapat pukulan hebat, karena usahanya menemui kegagalan total. Orang­orang Quraisy kembali ke Mekah dengan kekuatan yang telah hancur berantakan. Umeir bin Wahab telah Pula meninggalkan darah dagingnya sendiri di Madinah . karena anaknya jatuh menjadi tawanan Kaum Muslimin ….

Pada suatu hari kebetulan ia terlibat dalam percakapan dengan pamannya Shafwan bin Umaiyah …. Shafwan ini sejak lama memendam rasa dendam dan bencinya dengan getir, karena ayahnya Umaiyah bin Khalaf menemui ajalnya tewas di perang Badar, sedang tulang belulangnya telah mendekam di sumur tua.

Shafwan dan Umeir duduk berbincang-bincang sama-sama melampiaskan kebenciannya. Marilah kita panggil ‘Urwah bin Zubeir untuk memaparkan percakapan panjang mereka kepada kita:

Kata Shafwan: “Demi Allah, tak ada lagi gunanya hidup kita setelah peristiwa itu       “‘ Dan berkata Pula Umeir: “Kau benar, dan demi Allah, kalau karena utang yang belum sempat kubayar, dan keluarga yang kukhawatirkan akan tersia-sia sepeninggalku, niscaya aku berangkat mencari Muhammad saw. untuk membunuhnya . . . !” “Aku mempunyai alasan kuat untuk berbicara dengannya, akan kukatakan, bahwa aku datang untuk membicarakan anakku yang tertawan itu”. Shafwan segera menanggapi dan katanya Pula: “Biarlah aku yang me­nanggung utangmu .. . , akan kulunasi semua dan keluargamu hidup bersama keluargaku, akan kujaga mereka seperti keluargaku!”

Maka kata Umeir lagi: “Nah, kalau begitu marilah kita simpan rahasia kita ini . . . !” Kemudian Umeir meminta pedang­nya, yang sudah disuruhnya asah dan diberi racun. Maka berang­katlah ia hingga sampai di Madinah …. Di Madinah selagi Umar bin Khatthab bercakap-cakap dengan sekelompok Muslimin tentang perang Badar dan mereka menyebut-nyebut pertolongan Allah kepada mereka, sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya Umeir bin Wahab yang baru saja menambatkan tunggangannya di muka mesjid, siap memperguna­kan pedangnya, maka kata Umar:

“Itu si Umeir bin Wahab anjing musuh Allah! Demi Allah, pastilah kedatangannya untuk maksud jahat . . . ! Dialah yang telah menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di perang Badar … !”

Lalu Umar masuk menghadap Rasulullah saw. dan lantas berkata: “Ya Nabi Allah, itu si Umeir musuh Allah, ia telah datang siap menghunus pedangnya … !

Jawab Rasulullah saw.: “Suruhlah ia masuk menghadapku …

Umar pun pergi mengambil pedangnya dan menimang­-nimangnya di tangan, sembari mengatakan kepada orang-orang Anshar yang ada di sana, agar mereka masuk semua dan duduk dekat Rasulullah sambil mengawasi tindak tanduk bajingan itu terhadap Rasul, karena ia tidak dapat dipercaya. Lalu Umar membawa masuk Umeir menghadap Nabi, sambil membawa pedangnya yang tersandang di pundaknya, dan sewaktu hal ini dilihat oleh Rasul, beliau berkata: “Biarkanlah ia wahai Umar, dan anda wahai Umeir …. dekatlah ke mari!”

Umeir pun mendekat seraya berkata: “Selamat pagi!” suatu ucapan jahiliyah, maka jawab Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu hai Umeir, yaitu salaam . . . peng­hormatan ahli surga!”

Ujar Umeir Pula: “Demi Allah, aku masih hijau tentang hal itu!”

Tanya Rasulullah Pula: “Apa maksudmu datang ke sini, hai Umeir?” Jawabnya: “Kedatanganku ke sini sehubungan dengan tawanan yang berada di tangan anda”.

Tukas Nabi Pula: “Apa maksud pedangmu yang tersandang itu?” Jawab Umeir: “Pedang-pedang keparat! Menurut anda apakah ada manfa’atnya pedang itu bagi kami?”

Berkata Pula Rasulullah: “Berkatalah terus terang hai Umeir, apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya?”

Ujar Umeir Pula: “Tak ada maksudku yang lain, hanyalah yang kusebutkan tadi”.

Kata Rasulullah saw. lagi: “Bukankah kamu telah duduk bersama Shafwan bin Umaiyah di atas batu, lalu kamu berbincang-bincang tentang orang-orang Quraisy yang tewas di sumur Badar, kemu­dian katamu: “Kalau bukan karena utang dan keluargaku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad. Lalu Shafwan menjamin akan membayar utangmu dan menanggung keluarga­mu, asal kamu membunuhku, padahal Allah telah menjadi penghalang bagi maksudmu itu . . . !”

Waktu itu berserulah Umeir: “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu annaka Rasulullah . . . . Urusan ini tak ada yang menghadirinya selain aku dengan Shafwan saja. Demi Allah, tak ada yang memberi kabar kepadamu selain Allah! Maka puji syukur kepada Allah yang telah menunjuki aku kepada Islam!” Maka berkatalah Rasulullah kepada shahabat-shahabatnya: “Ajarilah saudaramu ini soal Agama, bacakan kepadanya al­Quran dan bebaskanlah tawanan itu serta serahkanlah ke­padanya!” Begitulah Umeir bin Wahab masuk Islam ….

Dan dernikianlah masuk Islamnya Jagoan Quraisy! Ia telah diliputi oleh nur Rasul dan nur Islam seluruhnya, hingga tiba-tiba dalam sekajap saat ia telah berbalik menjadi pembela Islam yang gigih. Berkatalah Umar bin Khatthab r.a.: “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya! Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi daripada si Umeir sewaktu mula-mula muncul di hadapan kita . . . ! Tetapi sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku sendiri …

Umeir duduk merenungkan dengan mendalam toleransi atau kelapangan dada dan sifat pema’af Agama ini serta kebesaran Rasul-Nya. Ia teringat akan masa-masa. silamnya di Mekah, sewaktu ia merencanakan tipu muslihat busuk dan memerangi Islam, yakni sebelum hijrah Rasul dan shahabat-shahabatnya ke Madinah. Kemudian ia teringat Pula usaha dan perjuangannya di pedang Badar . . . . Dan kini, ia datang dengan menimang­-nimang pedang di tangan.hendak membunuh Rasul. Dan semua itu dengan sekejap mata habis dikikis dengan ucapannya: “La ilaha illallah, Muhammadur-Rasulullah Alangkah pema’af dan sucinya, serta teguhnya kepercayaan diri, ajaran yang dibawa oleh Agama besar ini  …!

Beginikah kiranya Islam dalam sekejap saja sedia meng­hapuskan segala kesalahannya yang lalu, sementara orang-orang Islam melupakan segala dosa dan kejahatannya serta permusuh­annya yang lampau, dan membukakan dasar hati mereka untuk­nya, bahkan sedia merangkul dan memeluknya ke haribaan mereka?

Beginikah jadinya, pedang yang tergenggam kuat untuk suatu niat yang jahat, dan kekejaman keji, yang kilatannya masih membayang di muka mereka, semuanya sudah dilupa­kan, dan sekarang tak ada yang diingat lagi, kecuali Islamnya Umeir, dan dalam waktu sekejap ia telah menjadi salah seorang dari Kaum Muslimin, shahabat Rasul, yang mempunyai hak seperti hak-hak mereka, dan memikul kewajiban dan tanggung jawab seperti mereka Pula?

Dan beginikah akhirnya, seorang yang hampir dibunuh oleh Umar bin Khatthab beberapa saat sebelumnya, sekarang jadi dicintainya melebihi cintanya kepada anak cucunya sendiri?

Kalaulah salah satu saat dari keberanian yakni saat Umeir menyatakan keislamannya, telah membawa keberuntungan bagi Umeir berupa penghargaan, kemuliaan, ganjaran dan penghormatan dari Islam, maka tak ada penilaian lain, bahwa benar­-benarlah Islam itu suatu Agama yang maka luhur … !

Tidak berapa lama antaranya Umeir sudah mengenal tugas kewajibannya terhadap Islam . . . . Bahwa ia akan berbakti kepadanya, seimbang dengan usahanya memeranginya di masa lampau. Dan bahwa ia akan mengajak orang kepada Islam setaraf dengan ajakannya memusuhinya di masa silam. Dan bahwa ia akan memperlihatkan kepada Allah dan Rasul-Nya apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu berupa kejujuran, perjuangan dan ketaatan. Dan begitulah, ia datang menghadap Rasulullah pada suatu hari, sembari berkata: “Wahai Rasulullah! Dahulu aku berusaha memadamkan cahaya Allah, sangat jahat terhadap orang yang memeluk Agama Allah ‘Azza wajalla, maka sekarang aku ingin agar anda idzinkan aku pergi ke Mekah!

Aku akan menyeru mereka kepada Allah dan kepada Rasul­Nya, serta kepada Islam, semoga mereka diberi hidayah oleh Allah! Kalau tidak, aku akan menyakiti mereka karena agama mereka, sebagaimana dulu aku menyakiti shahabat-shahabatmu karena agama yang diikuti mereka . . .

Pada hari-hari itu, semenjak Umeir meninggalkan kota Mekah menuju Madinah, maka Shafwan bin Umaiyah yang telah menghasut Umeir pergi membunuh Rasul, sering mundar-mandir di jalan-jalan kota Mekah dengan sombong, dan ia selalu menumpahkan kegembiraannya yang meluap di semua majlis dan tempat-tempat pertemuannya … !

Dan setiap ia ditanyai kaum dan sanak saudaranya sebab­-sebab kegembiraannya itu, padahal tulang-belulang ayah masih terjemur di panas terik matahari padang Badar, ia lalu menepuk­kan kedua telapak tangannya dengan bangga sambil berkata kepada orang-orang itu: “Bersenang hatilah kalian karena bakal ada satu kejadian yang akan datang beritanya dalam beberapa hari lagi, yang akan menghapus malu kita di perang Badar … !

Setiap pagi ia keluar ke tempat ketinggian di pinggiran kota Mekah, menanyai kafilah-kafilah dan para penunggang kalau-kalau ada peristiwa penting terjadi di Madinah. Tapi jawaban mereka tidak ada yang menyenangkan dan meng­gembirakannya, karena tak ada seorang pun yang mendengar atau melihat suatu kejadian penting di Madinah. Shafwan tidak berputus asa, bahkan ia tetap shabar menanyai rombongan demi rombongan, hingga akhirnya ia menemukan sebagian mereka yang waktu ditanyainya: “Apa tak ada suatu kejadian di Madinah?”, mendapat jawaban dari musafir itu: “Benar, telah terjadi suatu kejadian besar – - – !”

Air muka Shafwan berseri-seri, seluruh kegembiraannya meluap dan melimpah ruah. Ia kembali menanyai orang itu dengan bergegas karena dorongan ingin tabu: “Apa sebenarnya yang terjadi, tolong ceriterakan kepadaku”. Jawab orang itu: “Umeir bin Wahab telah memeluk Islam, ia di sana sedang memperdalam Agama dan mempelajari al-Qur’an … !”

Bumi rasa berputar bagi Shafwan . . . . Peristiwa yang diharap-harapkannya akan dapat menggembirakan kaumnya, dan selalu dinantikannya untuk melupakan kejadian perang Badar, tabu-tabu hari itu berita itu yang datang kepadanya, yang bagai­kan petir menyambarnya.

Pada suatu hari sampailah sang musafir di kampung halaman­nya . . . . Umeir telah kembali ke Mekah, tak lupa membawa pedangnya dan siap untuk bertempur. Dan orang yang mula­-mula menjumpainya ialah Shafwan bin ‘Umaiyah . . . . Baru Baja Shafwan melihatnya, bermaksudlah ia hendak menyerang Umeir. Akan tetapi melihat pedang yang siaga di tangan Umeir ia pun mengurungkan maksudnya, dan merasa puas dengan melontar­kan caci maki padanya kemudian berlalu . . . .

Sekarang Umeir bin Wahab masuk ke kota Mekah sebagai seorang Muslim, sedang sewaktu meninggalkannya ia adalah seorang musyrik. Dimasukinya kota itu dan dalam ingatannya tergambar sikap Umar bin Khatthab mula ia masuk Islam, yang setelah Islamnya itu menyerukan: “Demi Allah, tidak akan ku­biarkan satu tempat pun yang pernah kududuki dengan kekafiran, melainkan akan kududuki lagi dengan keimanan … !

Seolah-olah Umeir hendak menjadikan kata itu sebagai lambang dan pendirian ini. menjadi contoh teladan. Ia telah bertekad bulat hendak menyerahkan hidupnya untuk berbakti kepada Islam, yang sekian lama diperanginya. Dan ia mem­punyai kemampuan dan kesempatan untuk membalas setiap kejahatan yang hendak ditimpakan kepadanya!

Demikianlah ia mengganti dan mengimbangi apa-apa yang telah luput pada masa silamnya, berpacu dengan waktu mengejar tujuannya. Ia berda’wah menyebarkan Agama Islam, baik Siang maupun malam, secara terang-terangan dan terbuka . . . Keimanan yang telah terhunjam di hatinya, telah melimpahkan rasa aman, petunjuk dan cahaya. Dari lidah dan ucapannya keluar kalimat dan kata-kata yang haq, yang digunakannya untuk menyeru orang kepada keadilan, kebaikan dan kebajikan. Sedang di tangan kanannya tergenggam teguh pedangnya yang akan me­ngecutkan hati setiap penghalang jalan menuju kebaikan, yakni mereka yang selalu mengganggu orang-orang beriman dan hendak membawa mereka ke jalan yang bengkok.

Dalam beberapa minggu saja, orang-orang yang mendapat petunjuk masuk Islam berkat usaha Umeir bin Wahab melebihi perkiraan yang melintas dalam angan-angan Umeir. Umeir pergi membawa mereka dalam satu barisan yang panjang dan terang­-terangan ke Madinah. Padang pasir yang mereka lalui dalam perjalanan itu, seolah-olah tak dapat menyembunyikan ketakjuban dan keheranannya, terhadap pria yang belum lama berselang melintasi dengan pedang terhunus menggerakkan setiap langkahnya ke Madinah untuk membunuh Rasul . . . . Kemudian laki-laki itu Pula yang melintasinya sekali lagi dari Madinah, tetapi wajahnya berlainan dengan wajah semula ketika ia pergi; sekarang ia membaca al-Quran dari atas punggung untanya yang ikut gembira ….

Dan kini, laki-laki itulah juga telah mengarungi Padang pasir yang sama untuk ketiga kalinya, mengepalai suatu rom­bongan iring-iringan yang panjang dari orang-orang yang beriman yang suara tahlil dan takbir mereka bergema memenuhi ang­kasa….
Sungguh benar, ia merupakan suatu berita besar …. berita tentang seorang Jagoan Quraisy dengan hidayah Allah telah merubahnya menjadi seorang pembela berani mati di antara pembela-pembela Islam lainnya. Ia yang selalu siap sedia di samping Rasul pada setiap peperangan dan pertempuran, dan yang kesetiaan serta baktinya kepada Agama Allah tetap teguh tidak berubah setelah Rasul wafat!

Di hari pembebasan kota Mekah, Umeir tak hendak me­lupakan shahabat dan karibnya Shafwan bin ‘Umaiyah, ia pergi untuk menyampaikan kepadanya kebaikan Islam dan meng­ajaknya untuk memeluknya, setelah ternyata tak ada lagi kesangsian terhadap kebenaran Rasul dan risalat. Tapi Shafwan telah bersiap-siap dengan kendaraannya menuju Jeddah untuk berlayar ke Yaman ….

Umeir sangat kecewa dan merasa kasihan melihat sikap Shafwan, maka dibulatkannya tekad hendak menyelamatkan shahabatnya itu dari jalan kesesatan. Ia pun segera pergi kepada Rasulullah saw., lalu berkata kepadanya: “Ya Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya, ia hendak pergi melarikan diri dengan menerjuni laut karena takut daripada anda. Maka mohon anda beri ia keamanan dan perlindungan, semoga Allah melimpahkan karunia-Nya kepada anda!”

Jawab Nabi: “Dia aman!”

Kata Umeir Pula: “Ya Rasul Allah, berilah aku suatu tanda sebagai bukti keamanan dari anda!” Maka Rasulullah saw. memberikan sorbannya yang dipakainya sewaktu memasuki kota Mekah.

Sekarang mari kita serahkan kepada ‘Urwah bin Zuber untuk menceriterakan kejadian itu selengkapnya:
“Umeir pun pergilah dengan sorban itu mendapatkan Shaf­wan yang ketika itu sudah hendak berlayar. Serunya kepadanya: “Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu! Ingatlah kepada Allah, janganlah engkau silap dan berputus asa! Inilah tanda keamanan dari Rasulullah saw. yang sengaja aku bawa untukmu!”

Ujar Shafwan, “Nyahlah engkau tak perlu bercakap denganku!” Jawab Umeir Pula: “Benar Shafwan, jaminanmu ayah dan ibuku, sesungguhnya Rasulullah saw. itu adalah manusia yang paling utama, paling banyak kebajikannya, paling penyantun dan paling baik. Kemuliaannya kemuliaanmu, martabatnya marta­batmu … !”

Kata Shafwan: “Aku takut terhadap diriku …

Kata Umeir: “Beliau orang yang paling penyantun dan paling mulia, lebih dari apa yang engkau duga!”

Maka akhirnya Shafwan bersedia ikut kembali. Mereka berdiri di muka Rasulullah saw.,

lalu kata Shafwan: “Kawan ini mengatakan bahwa anda telah memberiku jaminan keamanan!” 

Jawab Rasul: “Betul!”

Kata Shafwan lagi: “Berilah aku kes6mpatan memilih selama dua bulan!”

Balas, Rasul Pula: “Engkau diberi kebebasan memilih selama empat bulan!” Kemudian Shafwan pun Islamlah. Dan tak ter­kirakan bahagianya Umeir dengan Islamnya Shafwan shahabatnya itu

Umeir bin Wahab pun melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh berkah menuju Allah Ta’ala mengikuti jejak Rasul’Besar yang diutus Allah kepada ummat manusia untuk melepaskan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang ….


UMAIR IBN WAHB  
The Satan of Paganism and Disciple of Islam 


On the Day of Badr, he was one of the leaders who took up their swords to put an end to Islam. He was sharp-sighted and a perfect estimator, so his people delegated him to determine the number of Muslims who set forth with the Messenger and to see if the Muslims had ambushers or reinforcements behind them. `Umair Ibn Wahb Al-Jamhii galloped on his horse round the camp of the Muslims, then returned to his people and told them that there were about 300 men, and his estimation was right.  

        They asked him if they had reinforcements behind them. He said, "I found nothing. But O you Quraish, I saw horses carrying veritable death. They have neither fortitude nor refuge except their swords. By Allah! I see if one of them is killed, one of you will be killed also. If they killed the same number as you, what would be the benefit of life after that? Think wisely."  

        Some of the leaders of the Quraish were affected by his opinion and what he had said and were about to gather their men and return to Makkah without fighting, were it not for Abu Jahl who altered their opinion and ignited the fire of spite and war, in which he was its first victim.  

       The Quraish gave him the epithet "The Satan of Quraish". On the Day of Badr, the Satan of Quraish fought fiercely and wildly, but the forces of the Quraish returned to Makkah completely beaten and `Umair Ibn Wahb left a part of himself at Al-Madiinah, as the Muslims had taken his son as a prisoner of war.  

        One day, he joined his cousin Safwaan Ibn Umaiyah who was chewing his enemies in deadly bitterness because his father Umaiyah Ibn Khalaf had been killed at Badr and his bones buried at Al- Qaliib.  

        Safwaan and `Umair sat together ruminating on their enemies. Let `Urwah Ibn Az- Zubair tell us their long dialogue:  

        Safwaan, mentioning those who were killed at Badr said, "By Allah, there isn't any good in life after them." `Umair said, "That's true. By Allah, were it not for debts that I'm unable to repay and my children who I fear might be vagabonds after me, I would ride to Muhammad and kill him. I have a plausable reason to give him. I'll say that I have come for the sake of my son, a prisoner of war." Safwaan seized the chance and said, "I'll repay your debts and maintain your children with mine and comfort them as long as they live." `Umair agreed and said, "Keep it secret." Then he ordered his sword to be sharpened and poisoned and set out.  

        When he arrived at Al-Madiinah, `Umar Ibn Al-Khattaab was sitting among some of the Muslims talking about the Day of Badr. `Umar looked and saw `Umair Ibn Wahb, girded with his sword, making his camel kneel at the door of the mosque. `Umar said, "That dog, the enemy of Allah, `Umair Ibn Wahb! By Allah, he has come for nothing but evil. It is he who provoked us on the Day of Badr." `Umar entered and said to the Messenger (PBUH), "O Prophet of Allah , here is the enemy of Allah, `Umair Ibn Wahb come girded with his sword."  

        The Prophet (PBUH) said, "Let him in." `Umar came and took him by the scabbard of his sword round his neck and said to some of the men, "Enter and sit with the Prophet (PBUH) and be cautious of that fellow, he is dishonest." Then `Umar entered holding the scabbard of his sword round his neck and when the Prophet saw him, he told `Umar to let him alone and said to `Umair, "Draw nearer. Umair approached and said, "Good morning." That was the salutation in the period of Jahiliyah.  

The Prophet (PBUH) said, "Allah has honored us with a better salutation than yours. It is As-  Salaam, the salutation of the believers in Paradise."  
   
     Umair said, " O, Muhammad, by Allah I have heard it recently."  

        The Prophet (PBUH) said, "What made you come, `Umair?" `Umair said, "I have come for the sake of this captive in your hands." The Prophet (PBUH) said, " Tell the truth, `Umair, what have you come for ?" `Umair, "I have come for that purpose." The Prophet (PBUH) said, "But you sat with Safwaan Ibn Umaiyah at Al-hijir and mentioned those of Al-Qalub from the Quraish, then you said, were it not for my debts and my children, I would ride and kill Muhmmad. Safwaan promised to repay your debts and maintain your children on condition that you kill me, but Allah prevented you from doing so."  

       At the moment, `Umair cried, "I witness that there is no god but Allah and that you are His Prophet. That matter wasn't attended by anyone except Safwaan and me. By Allah, Allah told it to you. Praise be to Allah who guided me to Islam." The Prophet (PBUH) said to his companions, "Teach your brother the religion and how to reach the Qur'aan and set free the prisoner of war."  
   
   Thus, `Umair Ibn Wahb embraced Islam. Thus, the Satan of Quraish was so overwhelmed by the light of the Prophet (PBUH) and the light of Islam that, in a moment, he embraced Islam and turned into the Disciple of Islam.  

        `Umar Ibn Al-Khattaab, (may Allah be pleased with him) said, "By Allah, I hated him more than I hated a pig, when he appeared. But now, I love him more than I love some of my sons."  

   `Umair sat thinking deeply about the tolerance of this religion and the greatness of its Prophet. He remembered his previous days in Makkah when he was arguing and fighting against Islam before the Hijrah of the Prophet (PBUH) and his Companions to Al-Madiinah. Then he remembered his fighting on the Day of Badr and his coming on this day to kill the Prophet. All that was abolished in a moment of saying, "There is no god but Allah and Muhammad is His Messenger."  

        What tolerance! What purity, what self confidence that this great religion carries. At such a moment Islam abolished all his previous sins, Muslims forgave all his crimes and hate, opened their hearts and embraced him. Is not he whose sword is still glimmering in front of their eyes, planning with devilish intention to commit the most ignoble deed? All that was forgotten and nothing was mentioned. `Umair became in a single moment, one of the Muslims and one of the Prophet's Companions with their rights and duties. Did not he whom `Umar Ibn Al-Khattaab wanted to kill a short time ago become dearer to him than his sons?  

        If in one moment of truth when `Umair embraced Islam he deserved all the respect, honor, glory, and splendor of Islam, then Islam is indeed a great religion.  

        Within a short period of time, `Umair knew that his duty towards this religion was to serve it as much as he had fought it, to support it as much as he had conspired against it and to show Allah and His Prophet what they liked of truth, struggle, and obedience. Thus, one day he came to the Prophet and said "O Prophet of Allah, I had been doing my best to put out the light of Allah and was fond of hurting the Muslims. I would like you to give me permission to go to Makkah to call them to Allah, His Prophet and to Islam. Allah may guide them, otherwise, I'll hurt them in their religion as I used to hurt your companions in their religion."  

        From the time `Umair left Makkah for Al-Madiinah, Safwaan lbn Umaiyah, who had persuaded `Umair to go and kill the Messenger, walked proudly in the streets of Makkah, and dropped into its meetings and clubs joyfully and merrily. And whenever his people and his brothers asked him about the reason for his merriment and ecstasy when the bones of his father were still warm in the sands of Badr, he rubbed his hands proudly and said to the people, "Hurrah ! After a few days, happy news will come and make you forget the Battle of Badr." Every morning he went out of Makkah and asked the caravans, `Hasn't any matter occurred in Al-Madiinah?" Their answers were in the negative, as none of them had heard or seen any important matter in Al-Madiinah.  

 Safwaan continued without despair asking caravan after caravan until one day he met one and said to them, "Hasn't anything taken place in Al-Madiinah?" The traveler said, "Yes, a very important matter occurred." With a radiant face and at the peak of ecstasy Safwaan asked the traveler anxiously, "What happened? Tell me!" The man said ,"`Umair Ibn Wahb has embraced Islam, and he is there learning the religion and the Qur'aan!"  Safwaan felt giddy, and the good new which he had announced to his people and for which they were waiting to make them forget the Battle of Badr came to him that day dreadful enough to cause his ruin! One day the traveler arrived, and `Umair returned to Makkah holding his sword, ready to fight, and Safwaan Ibn `Umaiyah was the first who met him. No sooner did Safwaan see `Umair than he got ready to attack him, but the combat-ready sword in the hand of Umair dissuaded him. He was satisfied with some insults vented on `Umair and went his way.  

        `Umair entered Makkah as a Muslim though he had left it a few days earlier as a polytheist. In his memory was the image of `Umar Ibn Al-Khattaab when he embraced Islam, and cried, "By Allah! I'll sit as a believer in every place where I sat as a polytheist." Taking these words as a motto and that situation as a model, `Umair made up his mind to sacrifice his life for the religion that he had boldly fought against when he had the force to hurt any Muslim. And thus he began to compensate for what he had missed and to race with time by calling to Islam day and night, secretly and openly. In his heart faith floods upon him with safety, guidance, and light.  

        On his tongue are words of truth with which he calls to justice, charity, kindness and good. In this right hand is a sword with which he terrifies the severers who hinder the believers from the path of Allah and want it crooked. Within a few weeks, those who embraced Islam by the guidance of `Umair Ibn Wahb were becoming innumerable. `Umair set forth with them to Al- Madiinah in a delightful, long caravan.  

        The desert that they crossed during their journey could not hold its astonishment and wonder at that man who had crossed it a short while ago holding his sword and hurrying towards Al-Madiinah to kill the Prophet (PBUH). Then he had crossed it returning from Al Madiinah with quite a different face from the first one. He was reciting the Qur'aan on the back of his she-camel. Now, he was crossing the desert for the third time ahead of a long procession of believers filling the desert with the praise of Allah. Yes, it was a great announcement, that the Satan of the Quraish was turned by the guidance of Allah into a bold Disciple of Islam who stood beside the Prophet (PBUH) in battles and situations and whose loyalty to the religion of Allah continued to be firm even after the departure of the Prophet from life. 

       On the day of the Conquest of Makkah, he did not forget his companion and relative, to call him to Islam, especially after there was no doubt in the truth of the Prophet (PBUH) and his mission.  

  Safwaan had traveled to Jeddah on his way to Yemen by sea. `Umair pitied him so much that he decided to deliver him from Satan by all means. He hurried to the Prophet (PBUH) and said, "O Prophet of Allah, Safwaan Ibn `Umaiyah is the chief of his people. He set off escaping from you to throw himself into the sea. Give him safety. Peace be upon you." The Prophet (PBUH) said, "He is safe." `Umair said "O Prophet of Allah, give me a token for his safety." The Prophet (PBUH) gave him his turban which he had worn when he entered Makkah.  
  
We let `Urwah Ibn Az-Zubair complete the story: `Umair set off till he reached Safwaan when he was about to sail. `Umair said, "O Safwaan, I sacrifice my mother and father for you. Avert perishing yourself. This is the safety of the Prophet of Allah (PBUH) I came to you with." Safwaan said to him, "Woe to you! Go away, don't speak to me." `Umair said to him, "O Safwaan! I sacrifice my mother and father for you. The Prophet of Allah is the best, the most righteous, and the most clement of all people. His glory is yours and his honor is yours." Safwaan said, "I'm afraid." `Umair said, "He's more clement and more generous than that." He returned with him until they came to the Prophet (PBUH). Safwaan said to the Prophet, "He claims that you have given me safety." The Prophet said, "He speaks the truth." Safwaan said to the Prophet, "Give me the option for four months." The Prophet (PBUH) said, "You 

have the option for four months." After a while Safwaan embraced Islam, and `Umair was extremely happy about his acceptance of Islam. Ibn Wahb went on his blessed journey to Allah following the great Prophet by whom Allah saved people from straying and took them out of the depth of darkness into light.


.¤ª"˜¨¯¨¨Umeir Bin Wahab oUmair Ibn Wahb¸,ø¨¨"ª¤.  




Para Sahabat - The Companions
oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Qeis Bin Sa'ad Bin 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Qais Ibn Sa'd Ibn 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.   
 Kalau tidaklah karena Islam,
maka ia lah ahli tipu muslihat Arab
yang paling lihai. 

Walaupun usianya masih muda, orang-orang Anshar me­mandangnya seperti seorang pemimpin …. Mereka mengatakan: “Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami, niscaya akan kami lakukan”. Sebabnya is berwajah licin, tak ads suatu pun kekurangan dari sifat-sifat kepemimpin­annya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal janggut yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda ke­jantanan pada wajah-wajah mereka.

Nah, siapakah kiranya pemuda yang sangat dicintai kaumnya ini, sampai-sampai mereka siap mengurbankan harta untuk membelikan janggut yang akan menghiasi mukanya, sebagai penyempurnaan  bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki dan kepemimpinan yang    tinggi yang sudah dimilikinya … ?

Itulah dia Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah! Berasal dari keluarga Arab yang paling dermawan dari turunan­nya yang mulia . . . . suatu keluarga yang Rasulullah saw. pernah berkata terhadapnya: “Kedermawanan menjadi tabi’at anggota keluarga ini!” Ia adalah seorang lihai yang banyak tipu muslihat, seorang Yang mahir, licin dan cerdik, dan orang yang terus terang mengatakan secara jujur tentang dirinya: “Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” Sebabnya, karena ia adalah seorang yang tinggi kecerdasannya, banyak akal dan encer otaknya. Pada peristiwa Shiffin ia berdiri di fihak Ali menentang Mu’awiyah . . . . Maka duduklah ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya di suatu hari atau pada suatu ketika kelak. Namun ketika ia menyaring macam-macam muslihat yang telah memeras kecerdasannya. Namun, ketika ia menyaring itu disadarinya bahwa itu adalah suatu muslihat jahat yang membahayakan. Maka teringatlah ia akan firman Allah swt.:

“Dan tipu days jahat itu akan hembali menimpa orangnya sendiri!”   (Q.S. 35 al-Fathir:43)

Maka ia pun segera bangkit, lalu membatalkan cara-cara tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, serta mulutnya seakan-akan hendak mengatakan: “Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena keshalehan dan ketaqwaan kita . . . . “. Sesungguhnya pemuda Anshar suku Khazraj ini, adalah dari suatu keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia dari seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula . . . . Ia anak dari Sa’ad bin ‘Ubadah, seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui riwayatnya di belakang kelak. Sewaktu Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qeis dan menyerahkannya kepada Rasul sambil berkata: “Inilah khadam anda ya Rasulallah!” Rasul dapat melihat pada diri Qeis segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan . . .  Maka dirangkul dan didekatkannya ke dirinya dan senantiasalah Qeis menempati kedudukan di sisi Nabi …. Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan: “Kedudukan  Qeis bin Sa’ad di sisi Nabi, tak ubah seperti ajudan”.

Selagi Qeis memperlakukan orang-orang lain sebelum ia masuk Islam dengan segala kecerdikannya, mereka tak tahan akan kelihaiannya. Dan tak ada seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitungkan kelihaiannya ini secara hati-hati. Maka setelah ia memeluk Islam, Islam mengajarkan kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Ia adalah seorang anak muda yang banyak – amalnya untuk Islam, karena itu di kesampingkannya kelihaiannya, dan tidak hendak mengulangi lagi tindakan-tin­dakan liciknya masa silam. Setiap ia menghadapi suatu kejadian yang sukar, ia ingat kepada prakteknya yang lama, segera sadar­kan diri lalu diucapkannyalah kata-katanya yang bersayap: “Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab . . .!”

Tak ada perangai lain pada dirinya yang lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya . . . . Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan perangai baru bagi Qeis, karena ia adalah dari keluarga yang turun-temurun terkenal dermawan dan pemurah.

Bagi Qeis sebagai telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang paling dermawan dan suka membantu di antara suku-suku Arab, ada petugas yang Bering berdiri di tempat ketinggian memanggil para tamu untuk makan Siang bersama mereka …. atau sengaja menyalakan api di malam hari untuk menjadi petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang di zaman itu mengatakan: “Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silahkan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Hari­tsah . . . !” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua dari Qeis. Di rumah bangsawan inilah Qeis mendapat didikan kedermawan­an dan kepemurahan ….

Di suatu hari Umar dan Abu Bakar bercakap-cakap sekitar kedermawanan dan kepemurahan Qeis sambil. berkata: “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kepemurahannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya … !” Pembicaraan tentang anaknya itu, sampai kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, maka serunya: “Siapa dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar …? Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku … !”

Pada suatu hari pernah ia memberi pinjaman pada salah seorang kawannya yang kesukaran dengan jumlah besar . . . . Pada hari yang telah ditentukan guna melunasi utang, pergilah orang itu untuk membayarnya kepada Qeis. Ternyata Qeis tidak bersedia menerimanya, ia hanya berkata: “Kami tak hendak menerima kembali apa-apa yang telah kami berikan!”

Fithrah manusia mempunyai kebiasaan yang tak pernah berubah, dan sunnah (hukum) yang jarang berganti-ganti yaitu.: di mana terdapat kepemurahan, terdapat pula keberanian …. Benarlah . . – , sesungguhnya dermawan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tak pernah berpisah satu dari lainnya untuk selama-lamanya. Dan bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temukan itu bukanlah sebenarnya kepemurahan …. tetapi suatu gejala kosong dan bohong dari gejala-gejala melagakkan diri dan membusungkan dada. Demikian pula bila bertemu keberanian yang tidak disertai kepemurahan, ketahuilah pula bahwa itu bukanlah keberanian sejati, ia tak lain serpihan dari berani membabi buta dan kecerobohan!

Maka tatkala Qeis bin Sa’ad memegang teguh kendali ke­pemurahan dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat tali keberanian dan kepeloporan dengan tangan kirinya. Seolah-­olah ialah yang dimaksud dengan ungkapan sya’ir: “Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan. Maka segala kekejian berubah menjadi kebaikan”.

Keberaniannya telah termashur pada semua medan tempur yang dialaminya beserta Rasulullah saw. selagi beliau masih hidup …. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuran­pertempuran yang diterjuninya sesudah Rasul meninggal dunia. Keberanian yang selalu berlandaskan kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kelihaian dan kelicikan … dengan mempergunakan cara terbuka dan terus terang secara berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isyu dari belakang dan tidak pula dengan tipu muslihat busuk, tentu saja membebani dirinya dengan ke­sukaran dan kesulitan yang menekan. Semenjak Qeis membuang jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi licik dan bersilat lidah curang, dan ia membawakan diri dengan perangai berani secara terbuka dan terus terang, maka ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela ….

sesungguhnya keberanian sejati memancar dari kepuasan pribadi orang itu sendiri . . . . Kepuasan ini bukan karena dorong­an hawa nafsu dan keuntungan tertentu, tetapi disebabkan oleh ketulusan diri pribadi dan kejujuran terhadap ke­benaran – - – .
Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian di antara Ali dan Mu’awiyah, kits lihat Qeis bersunyi-sunyi memencilkan dirinya. Dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kepuasan­nya itu. Hingga akhirnya demi dilihatnya kebenaran itu berada pada pihak Ali, bangkitlah ia dan tampil ke sampingnya dengan gagah berani, teguh hati dan berjuang secara mati-matian. Di medan perang Shiffin, Jamal dan Nahrawan, Qeis merupakan salah seorang pahlawannya yang berperang tanpa takut mati …. Dialah yang membawa bendera Anshar dengan meneriakkan:

“Bendera inilah bendera persatuan ….
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.

Dan sesungguhnya Qeis telah diangkat oleh Imam Ali sebagai gubernur Mesir . . . . Tapi sudah semenjak lama Mu’awiyah selalu mengincerkan matanya ke wilayah ini. la memandangnya sebagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang amat didambakannya . . . . Oleh karena itu tidak lama setelah Qeis memangku jabatan sebagai Kepala Daerah itu, hampir terbit gilanya karena takut Qeis akan menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia beroleh kemenangan nanti atas Imam Ali dengan ke­menangan yang menentukan ….

Begitulah Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan mus­lihat yang tidak terbatas pada suatu corak saja, membangkitkan kemarahan yang tidak terbatas dari Imam Ali terhadap Qeis, sampai akhirnya Imam Ali memanggilnya dari Mesir …. Di sini Qeis memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya dengan berencana. la telah mengetahui berkat kecerdasannya bahwa Mu’awiyahlah yang memegang peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qeis ke pihaknya untuk memusuhi Imam Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.

Maka untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qeis mem­perkuat sokongannya terhadap Ali dan terhadap kebenaran yang diwakili Ali. seorang pemimpin yang saat itu tempat tersangkut­nya kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qeis bin Sa’ad bin Tbadah . . . .
Demikianlah, tidak sedikit pun dirasakannya bahwa Imam Ali telah memecatnya dari Mesir …. Bagi Qeis, tak ada artinya wilayah kekuasaan, tak ada artinya pangkat kepemimpinan dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sekedar sarana guna mengabdikan diri bagi aqidah dan Agamanya . . . . Sekalipun jabatan Kepala Daerah di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada yang haq, namun kedudukan di dekat Imam Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang tak kurang penting dan menggairahkan ….

Keberanian Qeis mencapai puncak kejujurannya dan kema­tangannya sesudah syahidnya Ali dan dibai’atnya Hassan . . . Sesungguhnya Qeis memandang Hassan r.a. sebagai tokoh yang cocok menurut syari’at untuk jadi Imam (Kepala Negara), maka berjanji setialah ia kepadanya, dan berdiri di sampingnya sebagai pembela, tanpa memperdulikan bahaya yang akan menimpa.

Dan di kala Mu’awiyah memaksa mereka untuk menghunus pedang, bangkitlah Qeis memimpin lima ribu prajurit dari orang­-orang yang telah mencukur kepala mereka sebagai tanda ber­kabung atas wafatnya Ali. Hassan mengalah dan lebih suka membalut luka-luka Muslimin yang telah sedemikian parah, maka disuruhnya menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian bai’at kepadanya. Di sinilah Qeis mulai merenungkan lagi masalah tersebut, maka menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Hassan adalah benar, maka pasukan Qeis tetap menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan musyawarah. Maka semua mereka dikumpulkannya, lalu ia berpidato di hadapan mereka sambil berkata: “Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut lebih dulu! Tapi jika kalian memilih perdamaian maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu . . . “.

Pasukan tentaranya memilih yang kedua maka dimintanya keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena dilihatnya taqdir telah membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih serta berbahaya … !

Pada tahun 59 H. di kota Madinah al-Munawwarah, telah pulang ke Rahmatullah seorang pahlawan, yang dengan ke­islamannya dapat mengendalikan kecerdikan dan keahlian tipu muslihatnya serta menjadikannya obat penawar bisa.
Telah berpulang tokoh yang pernah berkata:
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …

Ia telah tiada dalam kedamaian, dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus terang, der­mawan dan berani ….

Benar . .. , ia telah berpulang dengan mewariskan pusaka nama baik seorang laki-laki yang terpercaya, baik tentang watak keislamannya maupun tentang tanggung jawab dan menepati janji…



QAIS IBN SA`D IBN `UBAADAH  
The Craftiest of Arabs but for Islam 

        Although he was young, the Ansaar treated him as a leader. They used to say, "If only we could buy him a beard!" He was not lacking in any of the characteristics that a leader should have except the traditional beard.  

        But who was this lad for whom his people were willing to spend their money to buy a beard that would make his appearance faultless and becoming of his genuine greatness and astonishing leadership?  

       This young man was Qais Ibn Sa'd lbn `Ubaadah. He belonged to one of the most distinguished and generous Arab houses, on which the Prophet (PBUH) commented, "Generosity is the prevailing trait of this family."  

        He was a crafty man, and there was no end to his tricks, skillfulness, and cleverness. He spoke the truth when he said, "If it were not for Islam, I would have used my craftiness to outwit all the Arabs."  
   
        He was sharp-witted, tricky, and resourceful. In the As-Siffiin Battle, he sided with `Aliy against Mu'aawiyah. He sat there turning over in his mind the plot that would make Mu'aawiyah and his men the worst losers, but the more he thought about his plot, the more he realized that it came under the heading of dangerous evil plotting. He then repeated Allah's verse 

" But the evil plot encompasses only him who makes it" (35:43). 

Consequently, he rejected the plot altogether and asked Allah's forgiveness, saying, "By Allah, if Mu'aawiyah is destined to have the upper hand over us, he will not have it because he has out-witted us, but because our piety and fear of Allah have run short." 
   
        This man was one of the Ansaar from the Khazraj tribe. He belonged to a great family and inherited all the excellent qualities of his ancestors. He was the son of Sa'd Ibn `Ubaadah, the Khazraj leader with whom we will be acquainted. 

        When Sa'd submitted himself to Islam, he held his son Qais's hand and introduced him to the Prophet (PBUH) saying, "This is your servant from now on." The Prophet (PBUH) saw in Qais all the qualities of excellence and righteousness, so he asked him to sit next to him and said, "This place will always be filled by him for the rest of his life." Anas, the Companion of Allah's Prophet (PBUH) said, "Qais Ibn Sa'd Ibn `Ubaadah was to the Prophet like a chief officer to a commander." 
   
        Before his Islam, he was full of craftiness to the extent that no one was able to get the better of him. The people of Al-Madiinah and its surroundings fell short of his cunning. When he embraced Islam, it turned his life and even disposition upside-down as it taught him how to treat people with sincerity rather than with deceit. He was a truly faithful and loyal Muslim. Therefore, he threw aside his cunning and fatal maneuvers. Yet, whenever he faced a difficult situation, his restrained and thwarted craftiness tried to rebel and gain control over him and his actions, and the only thing that made him come to grips with it were these words: "If it were not for Islam I would have used my craftiness to outwit all the Arabs." 

 His cleverness was surpassed only by his generosity. Generosity was not an accidental behavior on Qais's part, for he belonged to a family renowned for its generosity. It was the custom in those times for all the wealthy and generous people to bid a crier to stand on a high place in the daytime to call guests and passers by to come for food and rest; then, at night, he would light a fire to guide strangers to where food was. People at that time used to say, "He who likes fat and meat must go to Duliim Ibn Haarithah's house for food." Now, Duliim lbn Haarithah was Qais's great-grandfather. Thus, Qais was suckled amidst generosity and charity in this high-born family.  

 One day, both Abu Bakr and `Umar commented on his generosity saying, "If we let this lad give free rein to his generosity, he would exhaust his father's wealth." When Sa'd Ibn `Ubaadah heard about what they had said, he cried out, "Abu Quhaafah and Ion Al khattaab should not have tried to encourage my son to become a miser!"  

        One day, he lent a debtor who was experiencing hard times a large sum of money. At the appointed time for repayment, this man went to repay his debt to Qais yet he refused saying, "I never take back anything that I have given.'  

        Human nature is unchangeable. Both generosity and courage are inseparable. Indeed, genuine generosity and courage are like twins: neither is found on its own. If you meet a generous man who is not courageous, then be certain that what you have seen is not real generosity but a mere superficial pretence. On the other hand, if you find someone who is courageous but not generous, then be certain that what you have seen is not courage but a mere impetuous and reckless whim. Qais Ibn Sa'd held the reins of generosity with his right hand along with courage and valor. It seems as if he was meant by these lines of poetry:  

        If a flag was hoisted in celebration of glory  
        Then it must have been held by the right hand of an Arab.  

  
        His valor was outstanding in all the battles in which be fought when the Prophet (PBUH) was alive and even after his death.  
  
        When courage depends on honesty rather than craftiness, and on straight forwardness and confrontation rather than prevarication and maneuvering, then there must be difficult and endless trouble and intolerable hardships for its possessor. Ever since Qais threw aside his incredible skill of cunning and maneuvering and held onto his straightforward and conspicuous courage, he felt relieved and content, notwithstanding the problems he had to confront and the obligations he had to fulfill 

        Genuine courage stems solely out of its possessor's conviction. This conviction is not affected by desire or whim, but rather by truthfulness and honesty with himself.  

        Hence, when the conflict between `Aliy and Mu'aawiyah started, Qais sat alone trying to side with the one whom he believed to be in the right. Then as soon as he decided that `Aby was right, he did not hesitate to stand by his side with admirable pride, valor, and fearlessness.  

        Qais was one of the fearless heroes of As-sifiin, Al-jamal and An-Nahrawaan. He carried the Ansaar's standard and cried out, "The standard that I'm carrying now is the same one that I used to carry when we marched for war with the Prophet (PBUH) and had jibriil as our reinforcement. Any man who has no one but the Ansaar on his side is a lucky man."  

Imam `Aliy assigned him to govern Egypt. Now, Mu'aawiyah's eyes were always set on Egypt, as he considered it the most precious stone in his prospective crown. Therefore, no Sooner had Mu'aawiyah heard that Qais was to govern Egypt than he lost his self-control and was gripped by apprehensions lest Qais should stand forever in his way to rule Egypt, even if he achieved a decisive victory over imam `Aliy. Hence, he used all his cunning methods and unscrupulous tricks to defame Qais before `Aliy.  

        Finally, Imam `Aliy ordered him to leave Egypt. Qais had a legitimate chance to use his cleverness, for he realized that Mu'aawiyah must have incited `Aliy against him through his sly and crafty tricks after he had failed to win him over to his side. He aimed at inciting Imam `Aliy against Qais by casting doubts on his loyalty to him. Therefore, the best answer to Mu'aawiyah's evil plots was to show more loyalty to `Aliy and what he represented. This loyalty was not a mere pretence or a means to an end on Qais's part, but rather his firm conviction and belief. Therefore, he did not feel for a moment that he was dismissed from his position, for Qais considered the governorship and all other positions as a means to the ultimate end, namely, to serve his faith and religion. He dedicated himself to the service of the truth. Whether he maintained his governorship of Egypt or stood by Imam `Aliy in the battlefield, it was one and the same thing for him, as long as they were a means to attain truth.  

        When Mu'aawiyah left the Muslims no other way out but to unsheathe their swords against one another, Qais took the command of 5,000 Muslims who shared in mourning for Imam `Aliy's death.  

       Al-Hasan thought that it would be best to put an end to the prolonged suffering of Muslims and that deadly horrible conflict.  

        Therefore he agreed to negotiate with Mu'aawiyah and finally gave him his oath of allegiance. When this happened, Qais pondered the matter in his mind and decided that no matter how right Al Hasan was in his decision, his soldiers had every right to be consulted. Thus, he called them together and addressed them saying, "If you wish, we will keep on fighting to the last breath, or if you wish, I will ask Mu'aawiyah to guarantee your safety and security."  

        Naturally, Mu'aawiyah was relieved and overjoyed to be rid of one of his most dreaded and dangerous foes!  

        This man whose craftiness was tamed and subdued by Islam died in A.H. 59 in Al-Madiinah This was the man who used to say, "If I did not hear the Prophet say, `Craftiness and deceit reside in hell,' I would have been the craftiest man of the nation!" In the end he died, yet the fragrance of this trustworthy and disciplined Muslim still lingers on.



oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Qeis Bin Sa'ad Bin 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Qais Ibn Sa'd Ibn 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.