acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'id Bin Amir oSa'iid Ibn 'Aamir¸,ø¨¨"ª¤.
Pemilik kebesaran di balik kesederhanaan. 

Siapa yang kenal nama ini, dan siapa pula di antara kita yang pernah mendengarnya sebelum ini … ?Berat dugaan bahwa banyak di antara kita — kalau tidak semua —yang belum pernah mendengarnya sama sekali. Dan saya yakin bahwa anda sekalian sekarang sama menunggu dan bertanya­-tanya, siapakah kiranya Sa’id bin ‘Amir ini … ?
Tentu! Saat ini akan anda ketahui juga siapa dia tokoh tersebut …. 

Ia adalah salah seorang shahabat Rasulullah yang utama, walaupun namanya tidak seharum nama mereka yang telah terkenal. Ia adalah salah seorang yang taqwa dan tak hendak menonjolkan diri!
Mungkin ada baiknya kita kemukakan di sini bahwa ia tak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah saw. Tetapi itu telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut meng­ambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun dalam kancah peperangan.Sa’id menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Dan semenjak itu ia memeluk Islam dan bai’at kepada Rasulullah saw. Seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita‑citanya .dibaktikan kepada keduanya. Maka ketaatan dan kepa­tuhan, zuhud dan keshalihan, keluhuran dan ketinggian, pendek­nya segala sifat dan tabi’at utama, mendapati manusia suci dan baik ini sebagai saudara kandung dan teman yang setia … !

Dan ketika kita berusaha hendak menemui dan menjajagi kebesarannya, hendaklah kita bersikap hati-hati dan waspada, hingga kita tidak terkecoh menyebabkannya lenyap atau lepas dari tangan . . . . Karena sewaktu pandangan kita tertumbuk pada Sa’id dalam kumpulan orang banyak, tidak suatu pun ke­istimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita akan melihat salah seorang anggota regu tentara dengan tubuh berdebu dan berambut yang kusut masai, yang baik pakaian maupun bentuk lahirnya tak sedikit pun bedanya dengan golongan miskin lainnya dari Kaum Muslimin … !Seandainya yang kita jadikan ukuran itu pakaian dan rupa lahir, maka takkan kita jumpai petunjuk yang akan menyatakan siapa sebenarnya ia. Kebesaran tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar daripada tersembul di permukaan lahir yang kemilau. la jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya …. Tahukah anda sekalian akan mutiara yang terpendam di perut lokan. Nah, keadaannya boleh ditamsilkan dengan itu ….

Ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab memecat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Dan sistim yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya, merupakan suatu sistim yang me­ngandung segala kewaspadaan, ketelitian dan pemikiran yang matang. Sebabnya ialah karena ia menaruh keyakinan bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap penguasa di tempat Yang jauh sekali pun, maka yang akan ditanya oleh Allah swt. ialah dua orang: pertama Umar . . . , dan kedua baru penguasa Yang melakukan kesalahan itu ….

Oleh sebab itu syarat-syarat yang dipergunakannya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan amat berat dan ketat serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, setajam penglihatan dan setembus pandangannya …. Di Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam meng­ikuti peradaban yang silih berganti, di samping ia merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang . . . , hingga karena itu dan disebabkan hal itu ia merupakan suatu negeri yang penuh godaan dan rangsangan. Maka menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan syetan manapun . . . , seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah …. Tiba-tiba Umar berseru, katanya: “Saya telah menemukan­nya … I Bawa ke sini Sa’id bin ‘Amir … ! “
Tak lama antaranya datanglah Sa’id mendapatkan Amirul Mu’­minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs. Tetapi Sa’id menyatakan keberatannya, katanya: “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu’minin … ! “ Dengan nada keras Umar menjawab: “Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku lalu tuan-tuan meninggalkan daku . “

Dalam sekejap saat, Sa’id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil Yang diharapkan itu. Sungguh suatu hal yang tidak adil namanya bila mereka me­ngalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sebatang kara ….Dan seandainya seorang seperti Sa’id bin ‘Amir menolak untuk  memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang amat berat itu … ? 

Demikianlah akhirnya Sa’id berangkat ke Homs. Ikut bersamanya isterinya;  dan sebetulnya kedua mereka adalah pe­ngantin baru. Semenjak kecil isterinya adalah seorang wanita Yang amat cantik berseri-seri. Mereka dibekali Umar secukupnya,  Ketika kedudukan mereka di Homs telah mantap, sang isteri bermaksud menggunakan haknya sebagai isteri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. 

Diusulkannya kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya. Jawab Sa’id kepada isterinya: “Maukah kamu saya tunjuk­kan yang lebih baik dari rencanamu itu? Kita berada di suatu negeri yang amat pesat perdagangannya dan laris barang jualan­nya. Maka lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan memper­kembangkannya … ! “Bagaimana jika perdagangannya rugi?” tanya isterinya. “Saya akan sediakan borg atau jaminan”, ujar Sa’id.

 “Baiklah kalau begitu” kata isterinya pula. Kemudian Sa’id pergi ke luar, lalu membeli sebagian keperluan hidup dari jenis yang amat bersahaja, dan sisanya — yang tentu masih banyak itu — dibagi-bagikannya kepada faqir miskin dan orang-orang mem­butuhkan. Hari-hari pun berlalu, dan dari waktu ke waktu. isteri Sa’id menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan bilakah keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan mereka berjalan lancar, sedang keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat.

Pada suatu hari isterinya memajukan lagi pertanyaan serupa di hadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa’id pun tersenyum lalu tertawa yang menye­babkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang isteri. Didesak­nyalah suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Maka disampaikannya bahwa harta itu telah disedeqahkannya dari semula.
Wanita itu pun menangis dan menyesali dirinya karena harta itu tak ada manfaatnya sedikit pun, karena tidak jadi dibelikan untuk keperluan hidup dirinya, dan sekarang tak sedikit pun tinggal sisanya ….
Sa’id memandangi isterinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya. Dan sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya, Sa’id menujukan penglihatan bathinnya ke surga, maka tampaklah di sana kawan-kawannya yang telah pergi mendahului­nya, lalu katanya: “Saya mempunyai kawan-kawan yang telah lebih dulu menemui Allah . . . dan saya tak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala isinya Dan karena is takut akan tergoda oleh kecantikan isterinya itu, maka katanya pula yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama isterinya: “Bukankah kamu tabu bahwa di dalam surga itu banyak ter­dapat gadis-gadis cantik yang bermata jeli, hingga andainya seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka bumi, maka akan terang-benderanglah seluruhnya, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan …
Maka mengurbankan dirimu demi untuk mendapathan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengur­bankan mereka demi karena dirimu … ! “
Diakhirinya ucapan itu sebagaimana dimulainya tadi, dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah … Isterinya diam dan maklum bahwa tak ada yang lebih utama ? dan mengendalikan diri untuk mencontoh sifat zuhud dan ke­ taqwaannya … !

Dewasa itu Homs digambarkan sebagai Kufah kedua. Hal disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan pendur­hakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang kuasaan. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor slam soal pembangkangan ini, maka kota Homs diberi julukan bagai Kufah kedua. Tetapi bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang pemimpin-pemimpin mereka sebagai kita sebutkan itu, namun terhadap hamba yang shalih sebagai Sa’id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan taat kepadanya.

Pada suatu hari Umar menyampaikan berita kepada Said: “Orang-orang Syria mencintaimu . . .!” “Mungkin sebabnya karena saya suka menolong dan membantu mereka”, ujar Said. Hanya bagaimana juga cintanya warga kota Homs terhadap Said, namun adanya keluhan dan pengaduan tak dapat dielakkan . . . , sekurang-kurangnya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi kota Kufah di Irak … !

Suatu ketika, tatkala Amirul Mu’minin Umar berkunjung ke Homs, ditanyakannya kepada penduduk yang sedang  berkumpul lengkap: “Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id . . . ?” Sebagian hadirin tampil ke depan mengadukannya. Tetapi rupanya pengaduan itu mengandung barkah, karena dengan demikian terungkaplah dari satu segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang amat menakjubkan serta me­ngesankan … !
Dari kelompok yang mengadukan itu Umar meminta agar mereka mengemukakan titik-titik kelemahannya satu demi satu. Maka atas nama kelompok tersebut majulah pembicara yang mengatakan:
“Ada empat hal yang hendak kami kemukakan:
1.    la baru keluar mendapatkan kami setelah tinggi hari
2.    Tak hendak melayani seseorang di waktu malam hari ….
3.    Setiap bulan ada dua hari di mana ia tak hendak keluar mendapatkan kami hingga kami tak dapat menemui­nya….
4.    Dan ada satu lagi yang sebetulnya bukan merupakan kesalahannya tapi mengganggu kami, yaitu bahwa sewaktu­-waktu ia jatuh pingsan . . .”.

Umar tunduk sebentar dan berbisik memohon kepada Allah, katanya: “Ya Allah, hamba tahu bahwa ia adalah hamba-Mu terbaik, maka hamba harap firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset “.
Lalu Said dipersilahkan untuk membela dirinya, ia ber­kata: “Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum tinggi hari, maka demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya, . . . Keluarga kami tak punya khadam atau pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudlu untuk shalat dluha. Setelah itu barulah saya keluar mendapatkan mereka … ! “

Wajah Umar berseri-seri, dan katanya: “Alhamdulillah …. dan mengenai yang kedua?” Maka Sa’id pun melanjutkan pembicaraannya: “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tak mau melayani mereka di waktu malam . . . , maka demi Allah saya benci menyebutkan sebabnya .. .! Saya telah menyediakan Siang hari bagi mereka, dan malam hari bagi Allah Ta’ala . . . ! sedang ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui mereka . . . , maka sebabnya sebagai saya katakan tadi — saya tak punya khadam yang akan mencuci pakaian, sedang pakaianku tidak pula banyak untuk diper­gantikan. Jadi terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang … Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu­-waktu jatuh pingsan . . . sebabnya karena ketika di Mekah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib al-Anshari. Dagingnya dipotong-potong oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil mereka menanya­kan kepadanya: “Maukah tempatmu ini diisi oleh Muham­mad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat wal ‘afiat .. .? Jawab Khubaib: Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku diliputi oleh keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah ditimpa bencana, walau oleh hanya tusukan duri sekali­pun…

Maka setiap terkenang akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu . . . “. Sampai di sana berakhirlah kata-kata Sa’id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih ….Mendengar itu Umar tak dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira: “Alhamdulillah, karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya . . .!” Lalu dirangkul dan dipeluknya Sa’id, serta diciumlah keningnya yang mulia dan bersinar cahaya… . Nah, petunjuk macam apakah yang telah diperoleh makhluq seperti ini . . . ? Guru dari kaliber manakah Rasulullah saw. itu … ? Dan sinar tembus seperti apakah Kitabullah itu ……..Corak sekolah yang telah memberikan bimbingan dan meniupkan inspirasi manakah Agama Islam ini … ?Tetapi mungkinkah bumi dapat memikul di atas punggungnya jumlah yang cukup banyak dari tokoh-tokoh berkwalitas demi­kian?

Sekiranya mungkin, tentulah ia tidak disebut bumi atau dunia lagi …. lebih tepat bila dikatakan Surga Firdausi …. Sungguh, ia telah menjadi Firdaus yang telah dijanjikan Allah! Dan karena Firdaus itu belum tiba waktunya, maka orang-orang yang lewat di muka bumi dan tampil di arena kehidupan dari tingkat tinggi dan mulia seperti ini amat sedikit dan jarang adanya . . . Dan Sa’id bin ‘Amir adalah salah seorang di antara mereka …. Uang tunjangan dan gaji yang diperolehnya banyak sekali, sesuai dengan kerja dan jabatannya, tetapi yang diambilnya hanyalah sekedar keperluan diri dan isterinya, sedang selebihnya dibagi-bagikan kepada rumah-rumah dan keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya.

Suatu ketika ada yang menasihatkan kepadanya: Berikanlah kelebihan harta ini untuk melapangkan keluarga dan famili isteri anda! Maka ujarnya: “Kenapa keluarga dan ipar besanku saja yang harus lebih kuperhatikan . ., .? Demi Allah, tidak! Saya tak hendak menjual keridlaan Allah dengan kaum kera­batku – - -!”

Memang telah lama dianjurkan orang kepadanya: “Janganlah ditahan-tahan nafqah untuk diri pribadi dan keluarga anda, dan ambillah kesempatan untuk meni’mati hidup!”
Tetapi jawaban yang keluar hanyalah kata-kata yang senantiasa diulang-ulangnya: “Saya tak hendak ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah saya dengar Rasulullah saw. bersabda:
“Allah ‘Azza wa Jalla akan menghimpun manusia untuk dihadapkan he pengadilan. Maka .datanglah orang-orang miskin yang beriman, berdesak-desakkan maju he depan tak ubahnya bagai kawanan burung merpati. Lalu ada yang berseru kepada mereka: Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan! Ujar mereka: Kami tak punya spa-spa untuk dihisab. Maka Allah pun berfirman: Benar­lah hamba-hamba-Ku itu . . . ! Lalu masuklah mereka he dalam surga sebelum orang-orang lain masuk

Dan pada tahun 20 Hijriyah dengan lembaran yang paling bersih, dengan hati yang paling suci dan dengan kehidupan yang Paling cemerlang., Sa’id bin ‘Amir pun menemui Allah ….
Telah lama sekali rindunya terpendam untuk menyusul rombongan perintis, yang hidupnya telah dinadzarkannya untuk memelihara janji dan mengikuti langkah mereka ….
Sungguh, rindunya telah tiada terkira untuk dapat menjum­pai Rasul yang menjadi gurunya, serta teman sejawatnya yang shalih dan suci ….!
Maka sekarang la akan menemui mereka dengan hati tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan ….
Yang tak ada beserta atau di belakangnya beban dunia atau harta benda yang akan memberati punggung atau menekan bahunya ….
Tak ada yang dibawanya kecuali zuhud, keshalihan dan ke­tagwaannya serta kebenaran jiwa dan budi baiknya …. Semua itu adalah keutamaan yang akan memberatkan daun timbangan, dan sekali-kali takkan memberatkan beban pikulan … !
Keistimewaan tersebut dipergunakan oleh pemiliknya untuk menggoncang dunia, dan dijadikan pegangan yang kokoh se­hingga tak tergoyahkan oleh tipu daya dunia … !

Selamat bahagia bagi Sa’id bin ‘.,4mir … !
Selamat baginya, baik  selagi hidup maupun sctelah wafatnya…!
Selamat, sekah lagi selamat, terhadap riwayat dan kenan-kenangannya.
Serta selamat bahagia pula bagi Para shahabat Rasulullah yakni orang-orang mulia dan gemar beramal serta rajin ber­ibadat … !

(10)  
SA'IID IBN `AAMIR  
Greatness Under Worn-out Garments 

        Does any of us know this man or have any of us ever heard his name before? Most probably, the majority of us, if not all, have not heard his name mentioned before. I imagine that you wonder, who is Sa'iid Ibn `Aamir? Well, you are about to embark on a journey back in time so as to find out all that there is to be known about this "happy" ("Sa'iid" means "happy ") man, so fasten your seat belts.  

        In short, Sa'iid was one of the outstanding Companions of the Prophet (PBUH), notwithstanding the fact that his name was seldom, if ever, mentioned. He was one of the most distinguished unknown pious Companions. It was natural that he, like all Muslims, would accompany the Prophet (PBUH) in all his expeditions and battles, for as a believer, he could not lag or turn his back on Allah's Prophet (PBUH) in peace or war time. Shortly before the Conquest of Khaibar, Sa'iid submitted himself to Islam. Ever since he embraced Islam and gave his allegiance to the Prophet (PBUH)), he consecrated his life, existence, and destiny to the service of Islam. All the great virtues of obedience, asceticism, dignity, humbleness, piety, and pride thrived harmoniously inside this pure and kind man.  

       In our attempt to unveil his greatness, we must bear in mind that, in most cases, appearance contrasts with reality. If we are to judge him by his outer looks, we will not do him justice, for he was definitely ill-favored as regards his appearance. He had dusty uncombed hair. Nothing in his looks or appearance distinguished him from poor Muslims. If we are to judge his reality by his appearance, we will see nothing impressive or breath-taking. But if we dive deep into his inner self beyond his outer appearance, we will see greatness in the full meaning of the word. His greatness stood aloof from the splendor and ornament of life. Yet, it lurked there beyond his modest appearance and worn-out garments. Have you ever seen a pearl hidden inside its shell? Well, he was much like this hidden pearl.  

   When the Commander of the Faithful `Umar Than Al- Khattaab dismissed Mu'aawiyah from his position as governor of Homs in Syria, he exerted himself in searching for someone who was qualified to take over his position.  

        Undoubtedly, `Umar's standards of choice of governors and assistants were highly cautious, meticulous, and scrutinizing. He believed that if a governor committed a sin, error, or violation, two people would be asked to account for it before Allah: `Umar and the governor, even if this governor were in the farthest corner of the earth. His standards of estimation and evaluation of governors were highly subtle, alert, and perceiving. Centuries before the advent of Islam, Homs was a big city that witnessed, one after the other, the dawn and eclipse of many civilizations. besides, it was a vital trade center. The attractions of the vast city turned it into a place of seduction and temptation. In `Umar's opinion only an ascetic, devout, and repentant worshiper would be able to resist and renounce its attractions.  

        `Umar suddenly realized that Sa'iid Ibn `Aamir was the man he was looking for and cried out, "Sa'iid Ibn `Aamir is the right man for this mission." He summoned him. Sa'iid was offered the governorship by the Commander of the Faithful, but he refused saying, "Do not expose me to Fitnah (trials and affliction)." `Umar then cried out, "By Allah, I will not let you turn me down. Do you lay the burdens of your trusteeship and the caliphate upon my shoulders, then you refuse to help me out? " Instantly, Sa'iid was convinced of the logic of `Umar's words. Indeed, it was not fair to abandon or avoid their obligation towards their trusteeship and towards the caliphate and lay them on `Umar's shoulders. Moreover, if people like Sa'iid Ibn `Aamir renounced the responsibility of rule, then `Umar would definitely have a hard time to find a man who was highly pious and righteous enough to be entrusted with such a mission.  

 Hence, Sa'iid traveled with his wife to Syria. They were newly wed. Ever since his bride was a little girl, she had been an exquisitely blooming beauty. `Umar gave him a considerable sum of money at the time of his departure.  

        When they settled down in Syria, his wife wanted to use this money, so she asked him to buy appropriate garments, upholstery, and furniture, and to save the rest of it. Sa'iid said to her, "I have a better idea. We are in a country with profitable trade and brisk markets, so it would be better to give this money to a merchant so as to invest it." She said, "But if he loses it?" Sa'iid said, "I will make him a guarantee that the amount will be paid notwithstanding." She answered, "All right then."  

        Of course, Sa'iid went out and bought the necessities for an ascetic life, then gave all his money in voluntary charity in Allah's cause to the poor and those in need. Time went by, and every now and then his wife would ask him about their money and their profits and he would answer, "It is a highly profitable trade."  

        One day, she asked him the same question before one of his relatives who knew what he had done with the money. His relative smiled, then he could not help laughing in a way that made Sa'iid's wife suspicious. Therefore, she prevailed on him to tell her the truth. He told her, "Sa'iid on that day gave all his money in voluntary charity in Allah's cause." Sa'iid's wife was broken-hearted, for not only had she lost her last chance to buy what she wanted but also lost all their money. Sa'iid gazed at her sad, meek eyes glistening with tears that only added more charm and grace to her eyes; yet before he yielded to this fascinating figure, he perceived Paradise inhabited by his late friends and said, "I had companions who preceded me in ascending to Allah and you will not deviate from the path they have taken, not for the world." He was afraid lest her excelling beauty should make her disobey him; therefore he said as if he were talking to himself, "You know that Paradise is filled with Houris, fair females with wide and lovely eyes as wives for the pious, who are extremely lovely. If one of them had a peep at the earth, she would illuminate it with her light that combines the light of both the earth and the moon. So you should not blame me if I chose to sacrifice your love for their love and not vice versa." Throughout his talk, he was calm, pleased, and satisfied. His wife was peaceful, for she realized that she had no choice but to follow Sa`iid's example and adopt herself to his rigid, ascetic, and pious way of life.  

Homs at that time was called the second Kufa. The reason behind this was that its people were easily stirred and swayed to revolt against their governors. Homs was named after Al-Kufa in Iraq, which was notorious for endless mutiny and uprisings. Although, the people of Homs were given to mutiny, as we have already mentioned, Allah guided their hearts to His righteous slave Sa'iid. Thus, they loved and obeyed him.  

        One day, `Umar said to him, "I find it rather strange that the people of Syria love and obey you." Sa'iid answered, "Maybe they love me because I help and sympathize with them."  

        Despite the love of the people of Homs for Sa'iid, their innate rebellious disposition got the better of them. Hence, sounds of discontent and complaint began to be heard, thus proving that Homs was not called the second Kufa in vain. One day, as the Commander of the Faithful was visiting Homs, he asked its people who gathered around him for their opinion of Sa'iid. Some made complaints against him which were blessings in disguise, for they unveiled an impressively great man.  

       `Umar asked the criticizing group to state their complaints one by one. The representative of the group stood up and said, "We have four complaints against Sa'iid : First, he doesn't come out of his house until the sun rises high and the day becomes hot. Second, he does not see anyone at night. Third, there are two days in every month in which he doesn't leave his house at all. Fourth, he faints every now and then, and this annoys us although he can't help it." The man sat down and `Umar was silent for while for he was secretly supplicating Allah saying, "Allah, I know that he is one of Your best slaves. Allah, I beseech You not to make me disappointed in him." He summoned Sa'iid to defend himself. Sa'iid replied, "As for their complaint that I do not get out of my house before noon, by Allah I hate to explain the reason that made me do that, but I have to do so. The reason is that my wife does not have a servant, so I knead my dough, wait for it to rise, bake my bread, perform ablution and pray Duha, then I go out of my 

house." `Umar's face brightened as he said, "All praises and thanks be to Allah." Then he urged him to refute the rest of the allegations. Sa'iid went on, " As for their complaint that I do not meet anyone at night, by Allah, I hate to say the reason, but you force me to. Anyway, I have devoted the day to them and consecrated the night for Allah. As for the third complaint that they do not see me two days per month, well, I do not have a servant to wash my garment and I have no spare one. Therefore, I wash it and wait for it to dry shortly before sunset, then I go out of my house to meet them. My defense against the last complaint of the fainting fits is that I saw with my own eyes Khubaib Al-Ansaariy being slain in Makkah. The Quraish cut his body into small pieces and said, `Do you want to save yourself and see Muhammad in your place instead? He answered, `By Allah, I will not accept your offer of setting me free to return to my family safe and sound, even if you gave me all the splendors and ornaments of life in return for exposing the Prophet (PBUH) to the least annoyance, even if it was a prick of a thorn. Now, every time this scene of me standing there as a disbeliever, watching Khubaib being tortured to death and doing nothing to save him flickers in my mind, I find myself shaking with fear of Allah's punishment and I faint."  

        These were Sa'iid's words which left his lips that were already wet from the flow of his pure and pious tears. The overjoyed `Umar could not help but cry Out, "All praises and thanks be to Allah Who would not make me disappointed in you!" He hugged Sa'iid and kissed his graceful and dignified forehead.  

        What a great guidance must have been bestowed on those outstanding men! What an excellent instructor Allah's Prophet (PBUH) must have been! What a penetrating light must have emanated from Allah's Book! What an inspiring and instructive school Islam must have been! I wonder if the earth can take in so much of the piety and righteousness of those fortunate men. I presume that if that happened, then we would no longer call it the earth but rather Paradise. Indeed the "Promised Paradise."  

        Since it is not time for Paradise yet, it is only natural that those glorious superior men who pass by life are but few, very few. Sa'iid lbn `Aamir was definitely one of those superior Muslims.  

        His position allowed him a considerable salary, yet he took only enough money to buy the necessities for himself and his wife and gave the rest in voluntary charity in the way of Allah. One day, he was urged to spend this surplus on his family and relatives, yet he answered, "Why should I give it to my family and relatives? No, by Allah, I will not sell Allah's pleasure to seek my kinfolks' pleasure."  

        He was later urged, "Spend more money on yourself and on your family and try to enjoy the lawful good things." But he always answered, "I will not stay behind the foremost Muslims after I heard the Prophet (PBUH) say, `When Almighty Allah gathers all people on the Day of Reckoning, the poor believers will step forward in solemn procession. They will be asked to stop for reckoning but they will answer confidently: We have nothing to account for. Allah will say: My slaves said the truth. Hence, they will enter Paradise before all other people."  

        In A.H. 20, Sa'iid met Allah with a pure record, pious heart, and honorable history. He yearned for so long to be among the foremost Muslims; in fact, he consecrated his life to fulfill their covenant and follow in their footsteps. He yearned for so long for his Prophet (PBUH) and instructor and his pure and repentant comrades. He left all the burdens, troubles, and hardships of life behind. He had nothing but his pious, ascetic, awesome, and great inner self. These virtues made the balance of good deeds heavy rather than light. He impressed the world with his qualities rather than with his conceit.  

        Peace be upon Sa'iid lbn `Aamir. Peace be upon his life and resurrection. Peace be upon the honorable and obedient Companions of the Prophet and blessings and peace be upon him.  

.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'id Bin Amir oSa'iid Ibn 'Aamir¸,ø¨¨"ª¤.





.¤ª"˜¨¯¨¨Miqdaad Bin 'Amr oAl-Miqdaad Ibn 'Amr¸,ø¨¨"ª¤.
 Pelopor barisan berkuda dan ahli filsafat. 

Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad”. Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin ‘Amr ini. 

Di masa jahiliyah ia menyetujui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kan­dungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu. ‘Amr bin Sa’ad.Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan ke­islamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggung­kan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!

Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya….Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakni seorang shahabat Rasul­ullah:
“Saya telah menyaksikan perjuangan. Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi shahabatnya daripada segala isi bumi ini ….

Pada hari yang bermula dengan kesuraman itu . . . yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka . . . . Pada hari itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka terjuni ….

Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya . . . , para shahabat dibawanya bermusya­warah dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah fikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendiri­an dan pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.

Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuang­an dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraan­nya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:
“Ya Rasulullah ….
Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda … !
Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda: Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping anda … !
Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenang­an … !”Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. 

Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kum­pulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan … !Sungguh, kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad dan Mu’adz pemimpin kaum Anshan bangkit berdiri, katanya:“Wahai Rasulullah …. Sungguh, kami telah beriman kepada anda dan membenarkan anda, dan kami saksikan bahwa apa yang anda bawa itu adalah benar . . . , Serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!Maka majulah wahai Rasulullah laksanakan apa yang anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda … !Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan mengarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh … !Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan moga-moga Allah akan memper­lihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda . . . ! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah . . .!”

Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu sabdanya kepada shahabat-shahabatnya:  “Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian …Dan kedua pasukan pun berhadapanlah ….Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam; sementara pejuang-­pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki atau pengen­dara-pengendara unta.

Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja meng­gambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam ….

Demikianlah sifat Miqdad ….la adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafat­nya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus dan lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi sertanya:“Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku …. Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya … ! “

Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang dikatakan filsafat itu . . .? Dan jika orang ini bukan seorang filosof, maka siapakah lagi yang disebut filosof … ?

seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh kelemahannya … ! Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Kemudian ternyata bahwa ia menepati janji dan sumpahnya itu, hingga semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir …. !

Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari ‘Rasulullah saw., yakni: Orang yang berbahagia, ialah  orang yang dijauhkan dari fitnah … !”

Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya,  ialah menjauhinya. Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah saw. Yang telah menyampaikan kepada ummatnya: “bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak …. “.

Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi . . . . Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut … ? Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu menonjol sebagai suatu renungan yang amat dalam, katanya: “Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan … !” Miqdad pergi menghampirinya, katanya: “Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat me­nyaksikannya? Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah saw. banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam … ! Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Suatu hikmah . . .! Dan hikmah yang bagaiman lagi . . . ? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya!

Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat me­nembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan  jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya … ? Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidup­kannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih …?

Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat . . . . Dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pe­mikir ulung ….
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya . . . .

Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar Serta didampingi oleh hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawab­nya….Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini . . . . Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan ingatan­nya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di Madinah, dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasul­ullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya … !

Sedang kecintaannya kepada Islam menyebabkannya sertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja dari tipu ­daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawan­nya sendiri ….

Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya. Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya; dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali. Miqdad lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan  apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkap­lah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk melakukan qishash”‘Sang amir tunduk dan bersedia . . . , hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af. Penciuman Miqdad yang tajam mengenai gentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini, hingga katanya seakan-akan berdendang: “Biar saya mati, asal Islam tetap jaya … ! “

Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawan­kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayak­nyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah saw. menerima ucapan berikut:“Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa la men­cintaimu “. Ya Allah bangkitkanlah dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela Agama-Mu


(9)  
AL- MIQDAAD IBN `AMR  
The First Muslim Cavalryman 

        His companions said about him, "The first cavalryman to strive in the way of Allah was Al- Miqdaad Ibn Al-Aswad, our hero, and Al-Miqdaad lbn `Amr was one and the same person."   The story behind this was that Al-Miqdaad Ibn `Amr was in alliance with Al-Aswad lbn Abd Yaghuuth, who therefore adopted Al-Miqdaad. Thus, he was called Al-Miqdaad lbn Al-Aswad until the glorious verse which abrogated adoption descended, and he restored his father's name, `Amr Ibn Saad. Al-Miqdaad was one of the foremost Muslims and the seventh of the seven men who announced their Islam openly and in public. Therefore, he had his share of the Quraish's abuse and atrocities. He tolerated them with the courageousness and satisfaction of a devoted disciple.  

        His attitude during the Battle of Badr will retain its immortal glory. It was an honorable attitude that impressed all those who witnessed it and made each and every one of them wish it were he who had adopted such an attitude. `Abd Allah Ibn Mas'uud, the Companion of Allah's Prophet (PBUH) said, "I have seen Al Miqdaad (may Allah be pleased with him) maintain a firm attitude and I was overtaken by a vicarious feeling to be in his place. This feeling enveloped me to the extent that I wished more than anything in the world that it would come true."  

        The Day of Badr was a crucial one as the Quraish marched with all their might, stubborn persistence, and haughtiness against the Muslims. On that day, the Muslims were not only few, but also untried and inexperienced in jihaad. Their hearts had not been tested in action. Besides, the Battle of Badr was the dawn of their conquests. The Prophet stood there to strengthen the faith of his Companions and test their combat readiness to break through the enemy infantry and cavalry.  

        Afterwards, the Prophet (PBUH) began to consult them on war tactics. Surely, the Prophet's Companions knew that when he asked their opinion, he demanded their individual free and courageous expression, even if it happened to contradict the majority. He who expressed his opinion would not be reproached or criticized.  

        Al-Miqdaad was afraid lest one of the Muslims should have reservations about the imminent battle. Therefore, he was careful to have precedence in speech. His concise and decisive words coined the slogan of the battle, yet before he had the chance to open his mouth, Abu Bakr As-siddiiq started talking and by the time he finished his words, Al-Miqdaad's apprehensions had vanished, for Abu Bakr spoke with remarkable eloquence. `Umar Ibn Al-khattaab spoke next and followed suit. Finally Al-Miqdaad stepped forward and said, "O Prophet of Allah, go ahead with what Allah has inspired you to do. We will stand by you. By Allah, we will never say as the Children of Israel said, `So go you and your Lord and fight you two, we are sitting right here.' Instead, we will say, `Go you and your Lord and we will fight with you.' By Allah, Who has sent you with the truth, if you take us to the end of the world, we will tolerate all hardships until we reach it with you. We will fight on your left, your right, in front of you and behind you until Allah bestows victory on you." His decisive words were like bullets that made the righteous believers with them fired up with enthusiasm.  

        The Prophet's face brightened as he uttered a pious supplication for Al-Miqdaad, whose words were so strong and decisive that they drew the pattern that would be followed by anyone who spoke afterwards. Indeed, Al-Miqdaad's words left their impact on the hearts of the believers. Consequently, S'ad Ibn Mu'aadh, a leader of the Ansaar, rose and said, "O Prophet of Allah, we have believed in you and witnessed that what has descended on you is the truth. We gave you our allegiance, so go ahead with what you intend to do, and we will stand by you. By Allah Who has sent you with the truth, if you attempt to cross the sea, we will cross it hand in hand with you. None of us will lag behind or turn his back on you. We are not afraid to meet our enemy tomorrow, for we are given to terrible warfare and we are faithful in our desire to meet Allah. I pray Allah that we do what will make you proud of us. Go ahead with Allah's blessings."  
   
        The Prophet (PBUH) was extremely sanguine on hearing this and said to his Companions, "March forward and be cheerful and confident!" After a while the two armies met in fierce combat. The Muslim cavalry on that day were only three Al-Miqdaad lbn Amr, Marthid lbn Abi Marthid, and Az-Zubair Ibn Al Awaam. The rest of the Mujaahiduun were infantry or riding on camels.  

        Al-Miqdaad's previous words not only proved his valor but also his preponderant wisdom and profound thought.  

        Al-Miqdaad was a wise and intelligent man. His wisdom was not expressed in mere words but in empirical principles and a constant Unvarying conduct. His experience was the fuel of his wisdom and intelligence.  

        The Prophet (PBUH) once assigned him to rule one of the governorships, and when he returned the Prophet (PBUH) asked him, "How does it feel be a governor?" He answered with admirable honesty, "It made me feel as if I were in a silver tower above the rest of the people. By Allah Who has sent you with the truth, from now on, I will never expose myself to the temptations of governing."  

        If that was not wisdom, then what else is? If that was not a wise man, then who else is?  

        This was an honest and straightforward man who was able to detect, unveil, and admit his innermost weakness. His position as a governor made him vulnerable to haughtiness and vainglory. He detected this weakness in himself at once and took a solemn oath to avoid any position or rank that might jeopardize his piety and righteousness. He kept his oath and renounced any influential or controversial situation for the rest of his life.  

        He cherished and treasured the hadith of the Prophet (PBUH): "He who avoids fitnah (trials, afflictions, and error) is indeed a happy man."  

        He realized that because the governorship awakened latent pride and haughtiness in him and exposed him to Fitnah, it was better to avoid any position that might arouse this weakness. His wisdom was manifested in his deliberateness and perseverance in his judgment of men. This was also a trait that Allah's Prophet (PBUH) instilled in him, for he taught Muslims that the hearts of the children of Adam are incredibly capricious.  

        Al-Miqdaad was always for delaying his final judgment of a man to the moment of death so as to be absolutely positive that the man concerned would not alter, for death means finality. His wisdom was most conspicuous in the dialogue that was narrated by one of his companions: One day, we sat with Al- Miqdaad and a man passed by and addressed Al-Miqdaad saying, "All kinds of happiness are for these eyes which have seen Allah's Prophet (PBUH). By Allah, we wish that we saw what you have seen and witnessed what you have witnessed." Al-Miqdaad approached him and said, "Why should anyone wish to witness a scene that Allah did not wish him to see? He does not know what it would have been like if he had witnessed it or which party he would have been among if he went back in time. By Allah, Allah's Prophet (PBUH) saw people who were thrown right into hell, so you should thank Allah that you were spared such a trial and were honored by firm belief in Allah and His Prophet (PBUH)."  

        Undoubtedly, it is remarkable wisdom. You hardly ever meet a believer who loves Allah and the Prophet (PBUH) and does not wish to see and live within the Prophet's sight. Yet the insight of the wise and skillful Miqdaad unveiled the missing dimension of this wish. For is it not possible that if this man had lived during those times he might have ended up among the dwellers of Hell? Is it not possible that he might have sided with the disbelievers? Again, is it not far much better for him to thank Allah Whodestined him to live at a time when Islam is deeply -rooted and fully-fledged, awaiting him to quench his thirst from its inexhaustible pure spring?  

        Al-Miqdaad's viewpoint was subtly wise and intelligent. He always emerged as the wise and clever man iall his actions, deeds, and words.  
   
 Al-Miqdaad's love for Islam was not only great but also reasonable and wise. A man who has such great and wise love inside him must be raised to a high station, for he does not find pleasure in this love per se but rather in its responsibilities and obligations. Al Miqdaad definitely was this type of man. His love for the Prophet filled his heart and deepened his feeling of responsibility towards the Prophet's safety. No sooner was a call for an expedition announced than he darted towards the Prophet's house on horseback armed with his sharp sword!  

        His love for Islam filled his heart with responsibility for its protections, not only from the plots of its enemies, but also from the errors of its allies.  

        One day, his army unit went on an expedition, but the enemy troops were able to besiege them. Therefore, their commander gave an order to his soldiers not to graze their camels. One of the Muslim soldiers did not hear his order and, in consequence, disobeyed it. The commander punished him severely, more than he actually deserved. In fact, he did not deserve to be punished at all. Al-Miqdaad passed by this man and found him in tears, so he asked him what was the matter, and the latter told him what had happened. Al-Miqdaad took the man to the commander, where he argued with him until he was convinced of his error of judgment. Then Al-Miqdaad said, "Now it is the time for retaliation. He must have his qisaas - the law of equality of punishment!"  

        The commander yielded to his judgment but the soldier remitted the retaliation. Al-Miqdaad was thrown into ectasy over the greatness of the religion that made it possible for them to reach this power of courageous judgment, admirable submission, and great forgiveness. He said as if he were singing a song, " I will see Islam triumphant even if I have to die for it." Indeed, it was his utmost wish to see Islam most powerful before he died. His extraordinary effort to make his wish come true made the Prophet (PBUH) say to him, "O Al-Miqdaad, Allah ordered me to love you and told me that He loves you."


.¤ª"˜¨¯¨¨Miqdaad Bin 'Amr oAl-Miqdaad Ibn 'Amr¸,ø¨¨"ª¤.








.¤ª"˜¨¯¨¨Mu'adz Bin Jabal oo Mu'aadh Ibn Jabal¸,ø¨¨"ª¤.

Cendekiawan Muslim yang paling tahu mana
yang halal dan mana yang haram. 

Tatkala Rasulullah mengambil bai’at dari orang-orang Anshar pada perjanjian ‘Aqabah yang kedua, di antara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karena­nya
Nah, itulah dia Mu’adz bin Jabal. Dan kalau begitu, maka ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut bai’at pada perjanjian ‘Aqabah kedua, hingga termasuk Assabiqunal Awwalun, golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama. Rasulullah dalam setiap perjuangan. Maka demikianlah halnya Mu’adz ….Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keistimewa­annya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah saw. dengan sabdanya: “Ummatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”.

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khatthab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya:
“Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah”, ujar Mu’adz. “Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putus dengan Sunnah Rasul” ujar Mu’adz. “Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia”. Maka berseri-serilah wajah Rasul­ullah, sabdanya: “Segala puji bagi Allah yang telah mem­beri taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridlai oleh Rasulullah . . . “. Maka kecintaan Mu’adz terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tidak menutup pintu untuk mengikuti buah fikiran­nya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk me­mahami kebenaran-kebenaran dahsyat yang masih tersembunyi, yang menunggu usaha orang yang akan menghadapi dan me­nyingkapnya.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya, hingga dinyatakan oleh Rasul­ullah sebagai “orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram”. 

Dan cerita-cerita sejarah melukiskan dirinya bagaimana adanya, yakni sebagai otak yang cermat dan jadi penyuluh serta dapat memutuskan persoalan dengan sebaik­-baiknya …. Di bawah ini kita musti cerita tentang ‘A’idzullah bin Ab­dillah yakni ketika pada suatu hari di awal pemerintahan Kha­lifah Umar, ia masuk mesjid bersama beberapa orang shahabat, katanya: “Maka duduklah saya pada suatu majlis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih, masing-masing menyebutkan sebuah Hadits yang mereka terima dari Rasulullah saw. Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan — hitam manis warna kulitnya, bersih, manis tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu Hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya, dan ia tak hendak berbicara kecuali bila diminta …. Dan tatkala majlis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya. Ujarnya: “Saya adalah Mu’adz bin Jabal”. Dalam pada itu Abu Muslim al-Khaulani bercerita pula:
“Saya masuk ke masjid Hamah, kiranya saya dapati segolong­an orang-orang tua sedang duduk dan di tengah-tengah mereka ada seorang anak muda yang berkilat-kilat giginya. Anak muda itu diam tak buka suara. Tetapi bila orang-orang itu merasa raga tentang sesuatu masalah, mereka berpaling dan bertanya kepadanya. Kepada teman karibku saya ber­tanya: “Siapakah orang ini?” “Itulah dia Mu’adz bin Jabal”, ujarnya, dan dalam diriku timbullah perasaan suka dan sayang kepadanya ……

Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya:“Bila para. shahabat berbicara sedang di antara mereka hadir ‘Mu’adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama me­minta pendapatnya karena kewibawaannya … !”Dan Amirul Mu’minin Umar r.a. sendiri sering meminta pendapat dan buah fikirannya. Bahkan dalam salah satu peris­tiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata: “Kalau tidaklah berkat Mu’adz bin Jabal, akan celakalah Umar!”Dan ternyata Mu’adz memiliki otak yang terlatih baik dan logika yang menawan serta memuaskan lawan, yang mengalir dengan tenang dan cermat. Dan di mana saja kita jumpai nama­nya — di celah-celah riwayat dan sejarah, kita dapati ia sebagai yang selalu menjadi pusat lingkaran. Di mana ia duduk selalulah dilingkungi oleh manusia.Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas per­mintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu’adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: “Seolah-olah dari mulut­nya keluar cahaya dan mutiara . . .”.Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini serta penghormatan Kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu’adz se­waktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum lagi 33 tahun …

Mu’adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak suatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu’adz telah menghabiskan semua hartanya. Ketika Rasulullah saw. wafat, Mu’adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk mem­bimbing Kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk­beluk Agama.

Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka diusulkan Umar kepada khalifah agar kekayaan­nya itu dibagi dua. Tanga menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut.Mu’adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperoleh­nya secara dosa bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat. Oleh sebab itu usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula …. Umar berpaling dan meninggalkannya . . . . Pagi-pagi keesokan harinya Mu’adz segera pergi ke rumah Umar. Demi sampai di sana, Umar dirangkul dan dipeluknya, sementara air mata mengalir mendahului perkataannya, seraya berkata: “Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar dan menyelamatkan saya … ! “

Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu’adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. “Tidak suatu pun yang akan saya ambil darimu”, ujar Abu Bakar. “Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik”, kata Umar menghadapkan pembicarannya kepada Mu’adz.Andai diketahuinya bahwa Mu’adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak Baik, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang shalih itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu’adz. Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagai burung yang terbang berputar-putar; ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan ….

Mu’adz pindah ke Syria, di mana ia tinggal bersama pen­duduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagai guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah — amir atau gubernur militer di sana  serta shahabat karib Mu’adz meninggal dunia, ia di­angkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai penggantinya di Syria. Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, ia dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri …Umar r.a. berkata:“Sekiranya saya mengangkat Mu’adz sebagai pengganti, lalu ditanya oleh Allah kenapa saya mengangkatnya, maka akan saya jawab: Saya dengar Nabi-Mu bersabda: Bila ulama menghadap Allah ‘Azza wa Jalla, pastilah Mu’adz akan berada di antara mereka … !”Mengangkat sebagai pengganti,  yang dimaksud Umar di sini ialah penggantinya sebagai khalifah bagi seluruh Kaum Muslimin, bukan kepala sesuatu negeri atau wilayah. Sebelum menghembuskan nafasnya yang,akhir, Umar pernah ditanyai orang: “Bagaimana jika anda tetapkan pengganti anda?” artinya anda pilih sendiri orang yang akan menjadi khalifah itu, lalu kami bai’at dan menyetujuinya … ‘ Maka ujar Umar: “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu saya angkat ia sebagai khalifah, dan kemudian bila saya meng­hadap Allah ‘Azza wa Jalla dan ditanya tentang pengangkat­annya: Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin bagi ummat manusia, maka akan saya jawab: Saya angkat Mu’adz bin Jabal setelah mendengar Nabi bersabda: Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari qiamat. . . “

Pada suatu hari Rasulullah saw, bersabda: “Hai Mu’adz! Demi Allah saya sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: Ya Allah, bantulah daku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu … !” Tepat sekali: “Ya Allah, bantulah daku … ! “

Rasulullah saw. selalu mendesak manusia untuk memahami makna yang agung ini yang maksudnya ialah bahwa tiada daya maupun upaya, dan tiada bantuan maupun pertolongan kecuali dengan pertolongan dan daya dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Mu’adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat . . . . Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu’adz, maka tanyanya:
— Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu’adz?
— Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah, ujar Mu adz.—Setiap kebenaran ado hakikatnya, ujar Nabi pula, maka apakah hakikat keimananmu?
—Ujar Mu adz: Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi . . . Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi lagi dengan langkah lainnya . . . Dan seolah­-olah kesaksian setiap ummat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya . . . . Dan seolah-olah ku­saksikan penduduk surga meni’mati kesenangan surga . . . Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka. Maka sabda Rasulullah saw.: Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepas­kan … ! Benar dan tidak salah Mu’adz telah menyerahkan seluruh jiwa raga dan nasibnya kepada Allah, hingga tidak suatu pun yang tampak olehnya hanyalah Dia . . . ! Tepat sekali gam­baran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang k6pribadiannya, katanya: “Mu’adz adalah seorang hamba yang tunduk kepada Allah dan berpegang teguh kepada Agama-Nya. Dan kami meng­anggap Mu’adz serupa dengan Nabi Ibrahim as

Mu’adz senantiasa menyeru manusia untuk mencapai ilmu dan berdzikir kepada Allah … Diserunya mereka untuk mencari ilmu yang benar lagi bermanfaat, dan katanya: “Waspadalah akan tergelincirnya orang yang berilmu! Dan kenalilah kebenaran itu dengan kebenaran pula, karena kebenaran itu mempunyai cahaya … ! Menurut Mu’adz, Ibadat itu hendaklah dilakukan dengan cermat dan jangan berlebihan. Pada suatu hari salah seorang Muslim meminta kepadanya agar diberi pelajaran. —  Apakah anda sedia mematuhinya bila saya ajarkan? tanya Mu’adz.—  Sungguh, saya amat berharap akan mentaati anda! ujar orang itu. Maka kata Mu’adz kepadanya: “Shaum dan berbukalah … ! Lakukanlah shalat dan tidurlah … Berusahalah mencari nafkah dan janganlah berbuat dosa …. Dan janganlah kamu mati kecuali dalam beragama Islam …. Serta jauhilah do’a dari orang yang teraniaya . . .!
Menurut Mu’adz, ilmu itu ialah mengenal dan beramal, katanya: “Pelajarilah segala ilmu yang kalian sukai, tetapi Allah tidak akan memberi kalian manfa’at dengan ilmu itu sebelum kalian meng’amalkannya lebih dulu … !”

Baginya iman dan dzikir kepada Allah ialah selalu siap siaga demi kebesaran-Nya dan pengawasan yang tak putus-putus terhadap kegiatan jiwa. Berkata al-Aswad bin Hilal:
“Kami berjalan bersama Mu’adz, maka katanya kepada kami: Marilah kita duduk sebentar meresapi iman … ! “

Mungkin sikap dan pendiriannya itu terdorong oleh sikap jiwa dan fikiran yang tiada mau diam dan bergejolak sesuai dengan pendiriannya yang pernah ia kemukakan kepada Rasulullah, bahwa tiada satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali timbul sangkaan bahwa ia tidak akan mengikutinya lagi dengan langkah berikutnya. Hal itu ialah karena tenggelamnya dalam mengingat-ingat Allah dan kesibukannya dalam menganalisa dan mengoreksi dirinya …..

Sekarang tibalah ajalnya, Mu’adz dipanggil menghadap Allah . . . . Dan dalam sakaratul maut, muncullah dari bawah sadarnya hakikat segala yang bernyawa ini; dan seandainya ia dapat berbicara akan mengalirlah dari lisannya kata-kata yang dapat menyimpulkan urusan dan kehidupannya ….

Dan pada saat-saat itu Mu’adz pun mengucapkan perkataan yang menyingkapkan dirinya sebagai seorang Mu’min besar. Sambil matanya menatap ke arah langit, Mu’adz munajat kepada Allah yang Maha Pengasih, katanya: “Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. …
Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan . . . . tetapi hanyalah untuk menutup hawa di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan . . .”.

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam ghaib masih sempat ia mengatakan: “Selamat datang hai maut …. Kekasih tiba di saat diperlukan . . .Dan nyawa Mu’adz pun melayanglah menghadap Allah Kita semua kepunyaan Allah ….

Dan kepada-Nya kita kembali ….

(8)  
MU'AADH IBN JABAL  
The Most Learned of Halaal and Haraam 

        Among the seventy-man delegation of the Ansaar who took the oath of allegiance to the Prophet in the Second Allegiance of `Aqabah sat a young man with a bright face, graceful eyes, and a radiant smile. When he was silent, he attracted attention with his profound peacefulness and devoutness. On the other hand, when he talked, he held his people spellbound. This young man was Mu'aadh lbn Jabal (May Allah be pleased with him). He belonged to the Ansaar, and he was among the foremost believers who gave the second oath of allegiance to the Prophet. Naturally, a man of such precedence, faith, and certainty would not miss for the world a battle or an expedition. His uppermost quality was his knowledge of fiqh (jurisprudence) the practical aspect of Muhammad's message. He reached the apex in knowledge and fiqh, to the extent that made the Prophet (PBUH) say, "The most learned man of my nation in halaal and haraam is Mu'aadh Ibn Jabal."  

        He resembled `Umar Ibn Al-Khattaab in his enlightenment, courage and intelligence. When the Prophet sent him to Yemen, he asked him, "How will you give a judgment or settle a dispute?" Mu'aadh answered; "I will refer to the Qur'aan." The Prophet then asked, "What will you do if you do not find the decree you are looking for in the Qur'aan?" Mu'aadh answered, "I will refer to the Prophet's Sunnah." The Prophet asked, "But what will you do if you do not find a decree even in the Sunnah?" Mu'aadh readily answered, "I will be judge between mankind by resorting to juristic reasoning (ijtihaad) to the best of my power." Now, Mu'aadh's staunch commitment to Allah's Book and the Prophet's Sunnah does not mean that he closed his mind to the countless and endless hidden or equivocal facts that await someone to unravel and adjudicate.  

        Perhaps both Mu'aadh's ability in juristic reasoning and the courageous usage of his intelligence enabled him to master the fiqh, excelling all other scholars. The Prophet justifiably described Mu'aadh as "the most learned man of my nation in haaal and haraam."  

        History portrays him as a man of remarkably enlightened, resolute, and decisive mind. For instance, `Aaez Allah lbn Abd Allah narrated that one day he entered the mosque with the Companions of the Prophet (PBUH) at the dawn of `Umar's caliphate. Then he sat among more than thirty men. Let us hear him narrate the story: "I sat with a group of more than thirty men. They were recalling a hadith of the Prophet (PBUH). In this ring sat a dark, swarthy young man who had a sweet voice and a radiant face. Whenever they disputed about a hidden or ambiguous meaning in the hadith, they at once sought his legal instruction or judgment. He seldom, if ever, spoke unless he was asked. When their meeting was over, I approached him and asked him, "Who are you, O Allah's Slave?" He answered, "I am Mu'aadh Ibn Jabal." So I instantly felt dose to him.  

        Also, Shahr Ibn Hawshab said, "Whenever Mu'aadh lbn Jabal was present when the Companions of the Prophet (PBUH) were holding a meeting, they looked at him with reverence".  

        `Umar Ibn Al-khattaab, the Commander of the Faithful, often consulted him. It seemed that Mu'aadh had a highly disciplined mind and a captivating and convincing logic that moved peacefully and knowledgeably. When we look at his historical background, we will always see him at the center ofattention. He always sat there surrounded by people. He always maintained a discrete silence that was only broken whenever people were anxious to hear his judgment and whenever they were in dispute. When he spoke he looked, as one of his contemporaries described, "as if light and pearls were emanating from his mouth rather than speech." He reached his high rank in knowledge and reverence when the Prophet (PBUH) was alive and maintained it after his death, notwithstanding his youth, for Mu'aadh died during `Umar's caliphate at the age of thirty-three years.  

Mu'aadh was generous, magnanimous, well-mannered, and good-natured. If anyone asked him for money, he would readily and glady give it to him. His generosity made him spend all his money on charity and aid. When the Prophet (PBUH) died, Mu'aadh was still in Yemen, where the Prophet (PBUH) had sent him with the task of teaching Muslims their religion and fiqh.  

        When Mu'aadh returned from Yemen during Abu Bakr's caliphate, `Umar lbn Al khttaab was informed that Mu'aadh become wealthy, and he suggested to Abu Bakr that the community should have half of Mu'aadh's wealth. `Umar did not waste much time as he rushed to Mu'aadh's house and told him about what he and Abu Bakr had agreed on. Mu'aadh was an honest and trustworthy man. The fact that he had made a fortune did not make him vulnerable to suspicion or sin; therefore, he turned down `Umar's suggestion and refuted his viewpoint. Finally, `Umar left him. The next day, Mu'aadh hurried towards `Umar's house and no sooner had he laid his eyes on him than he hugged him. His tears flowed as he said, " Last night, I saw in my dream that I was crossing deep water. I nearly drowned were it not for your help, `Umar." Afterwards, they both went to Abu Bakr's presence where Mu'aadh asked him to take half his money, but Abu Bakr said, " No, I will take nothing from you." `Umar glanced at Mu'aadh and said, "Now it is halaal and blessed."  

        First, the pious Abu Bakr would not take from Mu'aadh one penny unless he was absolutely positive that he had earned it in a lawful halaal way. Second, `Umar was not trying to accuse or cast suspicion on Mu'aadh. In the final analysis, this epitomizes the era of ideals which was filled with people who were in perpetual competition to climb their way up to the apex of perfection allowed to human beings. Thus some of them soared up to the sky with their good deeds. Some were foremost and the rest followed a middle course. Yet, all of them were travelers on a caravan of goodness.  

        After a while, Mu'aadh emigrated to Syria, where he lived among its people and the expatriates as a teacher and a scholar of fiqh. When Abu Ubaidah, the governor of Syria and a dose friend of Mu'aadh, died, the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al khattaab assigned Mu'aadh to take his place as a ruler. Only a few months had elapsed after his taking over when he died, humble and repentant to Allah. `Umar (May Allah be pleased with him) used to say, "If I were to grant Mu'aadh Ibn Jabal succession and Allah asked me, `Why did you make him your successor?' I would readily answer, `I heard Your Prophet (PBUH) say that when those who have knowledge stand before Almighty Allah, Mu'aadh will be among them."  

       The succession that `Umar meant here was not merely over a country or a governorship but over all the Muslim lands. When `Umar was asked before his death, "If you choose your successor now, we will give him our allegiance," he answered, "If Mu'aadh lbn Jabal were alive and I made him my successor to the caliphate, then I died and met Allah Who asked me, `Whom did you assign to rule Muhammad's nation?' I would answer, `I assigned Mu'aadh lbn Jabal to rule it after I heard the Prophet (PBUH) say Mu'aadh Ibn Jabal is the Imam of those who have knowledge of Judgment Day."  

        The Prophet (PBUH) said one day, "O Mu'aadh, by Allah I love you dearly, so do not forget to recite after every prayer, `Allah help me in remembering You, in offering thanks to You, and in worshiping You properly."'  

        Indeed, the Prophet (PBUH) supplicated Allah to help him to remember Him. The Prophet (PBUH) persevered in stressing this great fact that tells people that authority belongs to Allah, He has the power over all, and there is no power or any might except with His permission, for He is Most High and Most Great.  

        Definitely, Mu'aadh had learned and fully grasped this fact.  He did his utmost to cherish and apply this fundamental basis in his life from that moment onwards.  One day, the Prophet (PBUH) ran into him so he asked him, "How are you this morning Mu'aadh?" He answered, "This morning I woke up as a true believer." The Prophet (PBUH) said, "Every truth has its manifestations, so what are the manifestations of your belief?" Mu'aadh readily answered, "I have never woken up without believing that I might die before nightfall. I have never slept without believing that I might die before the morning and have never taken a step without believing that I might die before taking the next. It always seems to me that I can see each nation humbled to its knees and each nation called to its record of deeds. It always seems to me that I can see the dwellers of Paradise, wherein are delights everlasting, and the dwellers of Hell, wherein they are in disgracing torment." The Prophet (PBUH ) commented, "Now you know, so stick to the truth as long as you live." Indeed Mu'aadh had submitted himself and his destiny to Allah, for Allah was all that mattered to him. It was just that Ibn Mas'uud described him as "an ummah, a leader having all the good and righteous qualities, obedient to Allah and haniifan, who worshipped none but Allah. We used to liken him to Ibraahiim (Abraham) (PBUH)."  
   
Mu'aadh advocated knowledge and the remembrance of Allah. Moreover, he invited mankind to seek the useful and true knowledge saying, "I warn you against the deviation of wise men. You will know the truth when you see it, for it has a distinctive light!" He believed that worship was an end and a means to reach justice. One day a Muslim asked him, "Teach me." Mu'aadh asked him, "Will you obey me if I teach you?" The man answered, "I will not disobey you in anything." He said then, "Fast, then break your fast. Pray during the night but you must get some sleep. Earn what is halaal and what is rightfully yours and do not earn sin. Die as a true Muslim. Finally, I warn you against the supplication of those who have been wronged or oppressed." He believed that education meant knowledge and practice; therefore, he said, "Learn whatever you like to learn, yet Allah will not make your learning worthwhile unless you practice what you have learned." He believed that belief and remembrance of Allah meant the perpetual calling to mind of His greatness and the perpetual calling of oneself to account for deeds before Allah does so. 

        Al-Aswad lbn Hilaal reported, As we were walking with Mu'aadh one day, he said, "Let us sit down for a while to meditate on Allah."  

        Perhaps the reason behind his discrete silence was his unremitting meditation and contemplation.  Likewise, his once telling the Prophet (PBUH) that he nevertook a step without believing that he might die before taking the next was due to his engrossment in the remembrance of Allah and in calling himself to account for his deeds.  

        At the end, death summoned Mu'aadh. It was time to meet Allah. When the stupor of death creeps upon someone, his subconscious takes the reins and spurs the tongue - if it is able to - to disclose the reality of all mankind in concise words that summarize his life story. In those blessed moments, Mu'aadh faintly uttered great words that revealed a great believer, for he gazed up into the sky and humbly supplicated Allah, the Most Merciful, saying, "Allah I used to fear You but now I implore You. Allah, You know that I did not devote my life to travel in the lands or to earn money or property but rather consecrated it to knowledge, 
faith and obedience, notwithstanding intense heat or hardships."  

        He stretched his hand as if he were shaking death and went into a coma. His last words were, "O Death, welcome! You are a long-awaited beloved.  

      At last Mu'aadh ascended to Allah's Paradise. 


.¤ª"˜¨¯¨¨Mu'adz Bin Jabal oo Mu'aadh Ibn Jabal¸,ø¨¨"ª¤.